Hingga saat ini, pelajaran muatan lokal yang dipakai di sekolah-sekolah di Tegal adalah pelajaran Bahasa Jawa wetanan yang dipakai oleh orang-orang Semarang-Surakarta-Jogjakarta. Hal ini tentu saja membuat pelajaran tersebut akan sia-sia karena tidak dipakai di kehidupan sehari-hari. Selain itu, tidak dipelajarinya bahasa Tegalan di sekolah-sekolah tentu saja membuat perkembangan dan kelestarian bahasa Tegalan kian terancam.
Framing media saat ini seperti sinetron yang menggunakan bahasa Tegal sebagai bahasa kaum pembantu dan supir serta bahan lawakan di acara-acara komedi juga semakin membuat kebanyakan orang Tegal yang merantau di kota-kota besar semakin minder dan enggan menuturkan dialek Tegalan. Keluarga-keluarga muda di Tegal juga mulai mengajarkan anak-anaknya Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Jawa wetanan sebagai bahasa sehari-hari dibandingkan dengan Bahasa Tegalan karena dianggap lebih prestisius. Tegal pun mengalami krisis bahasa daerahnya sendiri, Bahasa Tegalan.
Untuk mengatasi krisis bahasa tersebut, tentu saja perlu beberapa tidakan yang harus dilakukan oleh semua warga Tegal, baik pemerintah maupun masyarakatnya harus mulai menjunjung Bahasa Tegal sebagai bahasa sehari-hari dan bagian dari kekayaan budaya daerah yang tidak boleh punah. Untungnya, Tegal memiliki orang-orang yang masih peduli untuk melestarikan Bahasa Tegal. Pada tahun 2006 lalu Kongres Bahasa Tegal I diadakan sebagai upaya untuk mengkaji dan mengembangkan Bahasa Tegal agar Bahasa Tegal tetap lestari. Upaya-upaya untuk melestarikan Bahasa Tegalan juga dilakukan oleh Hadi Utomo yang menyusun kamus Bahasa Tegal-Indonesia yang sekarang sudah terdapat 5000 kosakata di dalamnya.
Selain itu, upaya-upaya mengembangkan dan melestarikan Bahasa Tegalan juga dapat dilakukan dengan memasukan unsur dialek Tegalan ke dalam produk-produk kesenian dan budaya, seperti teater, drama, lagu-lagu, atau bahkan sastra Tegalan. Akhir-akhir ini Tegal dikejutkan dengan sebuah film berjudul Turah yang beraktor orang-orang Tegal, berlatar di Tegal dan seluruh dialog dalam filmnya menggunakan bahasa Tegal. Meskipun menggunakan bahasa daerah, film berdurasi 89 menit tersebut berhasil mendapatkan penghargaan internasional seperti Geber Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival, dan kategori Asian Feature Film Special Mention diraih dalam Singapore International Film Festival. FIlm Turah sendiri sudah berkeliling di berbagai festival film baik di Indonesia ataupun dunia Internasional. Film tersebut menunjukkan bahwa Bahasa Tegal bukanlah bahasa kasta terendah, bahwa Bahasa Tegal adalah identitas Wong Tegal dan bagian dari kekayaan budaya nusantara yang harus dilestarikan, bahwa tidak ada alasan lagi untuk minder menuturkan Bahasa Tegal.