Tanah pertama yang dibelinya pada 1693 terletak di Weltevreden, yang kini dikenal sebagai kawasan Gambir. Tanah tersebut digunakan untuk menanam tebu. Dua tahun kemudian, ia memutuskan pensiun dari VOC dan membeli tanah di Srengseng, yang kini dikenal sebagai Lenteng Agung. Di sinilah ia membangun rumah besar dan memulai kehidupan sebagai tuan tanah.
Budak yang Menjadi Keluarga
Chastelein memiliki pandangan yang berbeda tentang budak dibandingkan dengan banyak orang pada masanya. Ia memandang budak-budaknya sebagai manusia yang memiliki hak asasi. Oleh karena itu, ia memperlakukan mereka dengan baik dan akhirnya membebaskan semua budaknya, yang jumlahnya mencapai 150 orang.
Setelah dibebaskan, para mantan budak ini tetap tinggal bersama Chastelein dan bekerja untuk mengelola rumah besar serta perkebunan di Srengseng, Mampang, dan Depok. Perkebunan tersebut menghasilkan berbagai komoditas bernilai tinggi seperti tebu, lada, pala, dan kopi. Kesuksesan pengelolaan perkebunan ini membuat Chastelein semakin kaya raya, menjadikannya salah satu orang terkaya di Batavia pada zamannya.
Warisan Abadi untuk Generasi Mendatang
Chastelein wafat pada 28 Juni 1714. Namun, tiga bulan sebelum kematiannya, ia telah menyusun surat wasiat. Dalam wasiat tersebut, ia menyatakan bahwa seluruh hartanya tidak hanya akan diwariskan kepada keluarganya, tetapi juga kepada para mantan budaknya. Ia berharap warisan tersebut dapat membantu mereka hidup mandiri dan sejahtera.