Kelompok kejahatan terorganisir, yang sebagian besar berasal dari Tiongkok, telah mendirikan pusat penipuan cyber di seluruh Asia Tenggara, terutama di Kamboja, Laos, dan Myanmar, yang memanfaatkan tata kelola yang lemah dan ketegangan sipil di wilayah tersebut, terutama perang sipil yang sedang berlangsung di Myanmar.
Pusat-pusat ini mempekerjakan ribuan individu yang dipaksa untuk terlibat dalam skema penipuan yang canggih, dengan fokus pada investasi palsu seperti kriptokurensi palsu, praktik yang dikenal sebagai "pemotongan babi." Perang saudara di Myanmar telah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk penyebaran pusat-pusat ini, dengan sejumlah kelompok bersenjata etnis dan afiliasi junta dilaporkan memperoleh keuntungan dari industri ilegal tersebut.
Sebagai respons terhadap kekhawatiran tentang korban dari negaranya dan dampak destabilisasi di wilayah perbatasannya, Tiongkok telah memulai serangan balik, mengirim pulang ribuan warganya dan memberikan tekanan kepada milisi lokal untuk menutup pusat-pusat penipuan ini. Selain itu, pemerintah lain, termasuk AS, Kanada, dan Inggris, telah memberlakukan sanksi terhadap individu dan entitas yang terlibat dalam penipuan, sementara kolaborasi internasional dan rekomendasi kebijakan ditekankan untuk efektif melawan sifat lintas negara dari usaha kejahatan ini.