Agustini menyebutkan bahwa konten film tersebut bahkan diperjualbelikan secara online dengan harga Rp15 juta, dan langsung menjadi sorotan publik serta industri film. Menyadari urgensinya, pihaknya segera berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital untuk menindak tegas dan menutup akses platform ilegal tersebut.
"Langkah cepat ini menjadi bukti bahwa kami sangat serius dalam melindungi kekayaan intelektual para pelaku industri kreatif," tegasnya.
Hasilnya cukup menggembirakan. Setelah kejadian tersebut, film Jumbo tetap mampu menarik lebih dari 10 juta penonton dalam 60 hari penayangannya di bioskop, membuktikan bahwa dukungan pemerintah dan kesadaran masyarakat bisa menyelamatkan karya kreatif lokal.
Kolaborasi Jadi Kunci
Pemerintah menyadari bahwa perlindungan terhadap konten digital tidak bisa dilakukan secara sepihak. Oleh karena itu, Kemenparekraf terus memperkuat kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk platform OTT lokal, asosiasi film, serta komunitas kreatif, untuk menciptakan sistem pengawasan dan perlindungan yang lebih solid.
Meskipun regulasi kekayaan intelektual secara formal masih berada di bawah kewenangan kementerian lain, Kemenparekraf berperan aktif sebagai jembatan komunikasi antara pelaku industri dengan regulator. Agustini menegaskan bahwa pihaknya mendengar langsung aspirasi dan keluhan pelaku industri, lalu membawanya dalam forum lintas kementerian untuk mencari solusi konkret.
"Saat ini kami berfokus menjadi fasilitator kebutuhan industri kreatif, memastikan suara mereka terdengar dan ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang," ungkapnya.
Dukungan Terhadap Konten Lokal
Tak hanya soal perlindungan, pemerintah juga mendorong pertumbuhan konten lokal yang berkualitas, termasuk dalam bentuk kolaborasi produksi, promosi, hingga lisensi dengan berbagai platform streaming. Menurut Agustini, karya kreatif dari Indonesia kini mulai dilirik oleh pasar internasional, bahkan menjadi bagian dari katalog utama platform global seperti Netflix dan Disney+.