Google DeepMind Tak Mau Kalah
Tak ingin kalah dalam perlombaan, Google DeepMind, cabang AI milik Google, juga menawarkan paket kompensasi sebesar US$20 juta per tahun bagi para peneliti papan atas. Lebih dari sekadar uang tunai, mereka juga memberikan hibah ekuitas di luar siklus kompensasi biasa. Bahkan, Google memangkas periode vesting saham dari empat tahun menjadi tiga tahun agar peneliti mendapatkan haknya lebih cepat.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa perusahaan teknologi kini benar-benar berinvestasi besar pada talenta yang dapat mendorong kemajuan AI, terutama di era di mana teknologi seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude tengah mendominasi lanskap digital dunia.
Perburuan Talenta oleh Para Raksasa Teknologi
Fenomena ini turut dikomentari oleh Ariel Herbert-Voss, mantan peneliti di OpenAI, yang kini mendirikan startup AI-nya sendiri, RunSybil. Menurutnya, perusahaan teknologi besar bergerak sangat cepat dan siap membayar sangat mahal demi mendapatkan kandidat terbaik.
“Mereka bertindak seperti dalam permainan strategi,” ujarnya. “Seolah-olah sedang menyusun pasukan dengan cermat—mereka mencari benteng, ksatria, dan pion yang paling kuat untuk memenangkan perang AI.”
Persaingan ini bahkan membuat para pemimpin perusahaan besar langsung turun tangan dalam proses perekrutan. Salah satu contohnya adalah Noam Brown, sosok penting di balik sejumlah terobosan besar di OpenAI. Pada tahun 2023, saat ia sedang mempertimbangkan peluang kerja baru, ia diundang oleh tokoh-tokoh besar seperti Sergey Brin (pendiri Google) untuk makan siang pribadi dan bahkan bermain poker di rumah Sam Altman, CEO OpenAI.
Akhirnya, Brown memilih untuk tetap bersama OpenAI, bukan karena tawaran gaji tertinggi, tetapi karena dedikasi perusahaan terhadap visi dan sumber daya yang sesuai dengan minat risetnya.