Perkembangan Artificial Intelligence (AI) semakin melesat dalam beberapa tahun terakhir. Teknologi ini tidak hanya menjadi tren di kalangan perusahaan startup, tetapi juga telah menjadi fokus utama bagi raksasa teknologi dunia. Kecanggihan AI kini tidak terbatas pada sekadar menjawab pertanyaan sederhana, namun telah mampu menyelesaikan berbagai persoalan kompleks dengan akurasi tinggi.
Di balik semua kecanggihan itu, ada satu konsekuensi besar yang mulai mendapat sorotan para ilmuwan dan pakar teknologi: konsumsi energi listrik yang sangat tinggi. Seiring AI berkembang menjadi lebih kuat dan kompleks, kebutuhan daya komputasi pun melonjak, sehingga konsumsi listrik pun diproyeksikan akan meningkat tajam dalam waktu dekat.
Sebuah laporan dari Lawrence Berkeley National Laboratory memproyeksikan bahwa setengah dari total konsumsi listrik pusat data akan digunakan untuk AI pada tahun 2028. Angka ini mengejutkan karena menunjukkan bahwa dalam waktu kurang dari tiga tahun, penggunaan listrik oleh AI bisa mencapai 22% dari konsumsi listrik rumah tangga tahunan di seluruh Amerika Serikat.
Temuan ini dirangkum dalam laporan MIT Technology Review yang menunjukkan bagaimana setiap permintaan pengguna kepada model AI ternyata menyedot energi dalam jumlah besar—bahkan sering kali tidak disadari oleh pengguna itu sendiri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, terutama terkait emisi karbon dan sumber energi yang digunakan.
Permintaan terhadap layanan AI diproses di pusat data raksasa yang bekerja tanpa henti. Dalam proses ini, tidak hanya pemrosesan data yang membutuhkan energi besar, tetapi juga sistem pendinginan dan infrastruktur lainnya yang menyertainya. Ketika permintaan AI terus meningkat, banyak pusat data beralih menggunakan energi dari sumber yang lebih "kotor", seperti gas alam, demi memenuhi lonjakan permintaan secara cepat. Akibatnya, emisi karbon pun meningkat drastis.