Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) selama ini dipuja sebagai kunci masa depan umat manusia. Ia menjanjikan kemajuan dalam berbagai bidang, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi. Namun, laporan terbaru dari organisasi lingkungan internasional Greenpeace justru mengungkapkan sisi gelap dari revolusi teknologi ini—yang berpotensi menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup Bumi.
Dalam laporan mendalam yang dirilis awal April 2025, Greenpeace menyoroti lonjakan emisi karbon yang sangat signifikan dari sektor produksi semikonduktor, yaitu komponen utama yang menggerakkan teknologi AI. Sepanjang tahun 2024 saja, emisi dari industri ini meningkat lebih dari empat kali lipat, sebuah angka yang mengkhawatirkan.
Greenpeace melakukan analisis berdasarkan data dari berbagai perusahaan serta sumber terbuka. Hasilnya memperlihatkan bahwa sejumlah perusahaan teknologi besar seperti Nvidia dan Microsoft menjadi kontributor besar terhadap peningkatan jejak karbon, karena ketergantungan mereka pada pemasok chip seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), SK Hynix, Samsung Electronics, dan Micron Technology.
“Industri AI telah bertransformasi menjadi penyumbang utama emisi karbon global,” tulis Greenpeace dalam laporan mereka. Klaim tersebut bukan tanpa dasar, mengingat sebagian besar produsen chip AI berada di negara-negara dengan ketergantungan tinggi terhadap bahan bakar fosil, seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.
Menurut data yang dihimpun, lebih dari 83% listrik di Taiwan masih berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Sementara itu, di Jepang dan Korea Selatan, angkanya masing-masing mencapai 68,6% dan 58,5%. Hal ini menyebabkan setiap lonjakan permintaan listrik dari industri chip—yang sangat boros energi—langsung berdampak besar terhadap peningkatan emisi karbon.