"Bagi mereka yang mungkin meragukan atau mempertanyakan ceritaku, ketahuilah bahwa aku memiliki bukti, bukti yang bersuara lebih keras daripada kata-kata apa pun yang bisa aku ucapkan. Namun, aku memilih untuk tidak terlibat dalam pertarungan kata-kata. Sebaliknya, aku fokus pada penyembuhan dan membangun kembali hidupku," lanjut Nikita Mirzani.
Nikita Mirzani tampaknya tidak ingin hanya menyimpan penderitaan yang pernah dialaminya, melainkan ingin memberikan dukungan kepada orang-orang yang mungkin mengalami situasi serupa. Pengakuan ini pun menjadi sorotan publik dan melahirkan perdebatan di media sosial.
Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih cukup tinggi. Data menunjukkan bahwa sekitar 35% perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangannya. Masih banyak pula kasus kekerasan emosional yang seringkali tidak terdeteksi.
Dalam pandangan psikolog, kekerasan emosional memiliki dampak yang serius pada kesehatan mental individu. Hal ini dapat mengakibatkan depresi, kecemasan, rendahnya harga diri, dan trauma psikologis yang mendalam. Oleh karena itu, penting bagi individu yang mengalami kekerasan ini untuk segera mendapatkan bantuan dan dukungan, baik dari pihak keluarga, teman, maupun profesional di bidang psikologi dan kesehatan mental.
Pengalaman yang dialami oleh Nikita Mirzani mengingatkan kita untuk tidak meremehkan dampak kekerasan dalam hubungan. Bantuan dan dukungan bagi korban kekerasan perlu ditingkatkan, termasuk melalui pendirian pusat krisis, layanan konseling, dan advokasi bagi korban kekerasan.