Di desa itu, Raras tinggal bersama bibinya, Mbok Karni, seorang perempuan tua yang terkesan ramah namun menyimpan banyak rahasia. Mbok Karni memperingatkan Raras untuk tidak keluar setelah matahari terbenam, tidak menyalakan lampu merah di kamar, dan tidak membuka jendela ketika mendengar suara orang memanggil namanya di luar rumah. Raras awalnya menganggap semua itu sebagai takhayul pedesaan, hingga malam ketika ia melihat sendiri sosok Lintrik berdiri di bawah pepohonan bambu, wajahnya tampak seakan mengintip di balik gelap.
Konflik semakin memuncak ketika Raras menemukan bahwa perjanjian yang dibuat ibunya ternyata dilakukan untuk menyelamatkan Raras saat ia masih bayi. Lintrik, dalam wujud aslinya, bukan makhluk jahat—tetapi sosok penjaga yang memerlukan keseimbangan. Namun, karena Sri Wening meninggal sebelum menyelesaikan syarat perjanjiannya, Lintrik kehilangan tempat ikatan yang membuatnya bergolak, alami, dan tak terkendali.
Raras bersama Arga dan tokoh desa, Mbah Jayeng, mencoba mengungkap ritual pemutus perjanjian tersebut. Mbah Jayeng mengungkapkan bahwa Lintrik bukan makhluk yang bisa dimusnahkan, hanya bisa “diantarkan kembali” ke alamnya jika syarat tertentu dipenuhi di antaranya menghadapi ketakutan terdalam dari pewaris garis keluarga, yaitu Raras sendiri.
Bagian klimaks film menghadirkan adegan yang memadukan spiritual, simbolisme Jawa, dan horor visual yang intens. Raras harus masuk ke sebuah ruangan kuno di rumah keluarganya, tempat ritual awal dibuat, dan menghadapi Lintrik secara langsung. Adegan tersebut disebut sebagai salah satu momen paling mencekam dalam film horor Indonesia tahun ini: ruangan gelap penuh suara bisikan, atap bocor yang meneteskan air, dan Lintrik yang muncul dalam wujud yang lebih besar, lebih berwajah retak, dan bergerak dengan kecepatan tak wajar.