Syukurlah, KOMPAS.COM dan media online lainnya tidak seperti Metrotvnews.com yang mengubah tingkat popularitas menjadi elektabilitas. Mungkin Metrotvnews.com tidak mengetahui perbedaan antara popularitas dengan elektabilitas. Sama dengan tidak mengetahuinya media ini pada perbedan antara "kata" dengan "karakter".
Kalau begitu, mungkin PPS UIN UGD-lah yang salah.
Logikanya, tingkat popularitas pastinya di atas atau sama dengan tingkat elektabilitas. Tidak mungkin popularitas lebih kecil atau rendah dari elektabilitas. Sebab, balon yang dikenali oleh responden belum tentu dipilih oleh responden yang bersangkutan.
Misalnya, ketika ditanya tentang balon Gubernur Jabar yang dikenalinya, satu responden menjawab Ridwan Kamil, Dedy Mizwar, Desy Ratnasari, Gatot Swandito, dll.
Jawaban responden pada pertanyaan ini bisa lebih dari satu atau multiple. Pada kuesioner, pertanyaan ini biasanya ditandai dengan huruh "M"
Karena jawaban responden bisa lebih dari satu, maka total tingkat popularitas seluruh balon bisa lebih dari 100%.
Sementara ketika ditanya siapa balon Gubernur Jabar yang akan dipilih jika Pilgub Jabar diselenggarakan pada hari ini, jawaban responden hanya satu nama. Deddi Mizwar saja atau Gatot Swandito saja. (Nama Gatot Swandito bisa saja disebut oleh responden jika pertanyaan tersebut bersifat terbuka)
Pada kuesioner, pertanyaan ini biasanya ditandai dengan huruh "S". Kenapa, karena pada saat pemilihan, pemilih hanya sah mencoblos satu foto pasangan calon.
Karena jawaban responden hanya satu, maka total tingkat elektabilitas seluruh balon tidak mungkin lebih dari 100%.
Jawaban tunggal atau satu juga diberikan responden saat menjawab katagori pertanyaan "Top of Mind". Karenanya, sama seperti tingkat elektablitas, total Top of Mind seluruh balon pun tidak mungkin lebih dari 100%.
Top of Mind itu kira-kira seperti ini.
"Kalau bicara tentang calon Gubernur Jabar 2018, siapakah yang pertama kali terlintas dalam pikiran Ibu?"
Responden yang seorang ibu itu menjawab, "Gatot Swandito."
Kemudian, saat masuk ke pertanyaan elektabilitas, "Siapakah balon Gubernur Jabar yang dipilih jika Pilkada diselenggarakan pada hari ini?"
Si Ibu menjawab, "Dede Yusuf."
Saat kedua jawaban Si Ibu digali, "Kenapa balon Gubernur yang pertama terlintas dalam pikiran Ibu adalah Gatot Swandito, tetapi, yang ibu pilih adalah Dede Yusuf?"
Jawaban Si Ibu, "Ibu lebih memilih Gatot Swandito untuk jadi calon mantu Ibu."
Apakah kejanggalan hasil survei PPS UIN SGD dikarenakan tertukarnya "popularitas" dengan "elektabilitas"?
Baca lagi,"Popularitas Dede Yusuf meningkat dari 15,68 persen menjadi 17,41 persen, Iwa Karniwa meningkat dari 8,99 persen menjadi 13,88 persen, dan Dedi Mulyadi naik dari 10,70 persen menjadi 11,60 persen."
Lanjutkan dengan, "Sedangkan elektabilitas Deddy Mizwar meningkat dari 16,30 persen menjadi 22,38 persen pada survei kedua.
Dede Yusuf dari 11,68 persen meningkat menjadi 12,57 persen. Iwa Karniwa melejit dari 2,55 persen menjadi 10,44 persen. Sedangkan elektabilitas Dedi Mulyadi meningkat dari 6,17 persen menjadi 10,08 persen pada survei kedua."
Perhatikan: (popularitas) Dedi Mulyadi naik dari 10,70 persen menjadi 11,60 persen." Dan "Sedangkan elektabilitas Dedi Mulyadi meningkat dari 6,17 persen menjadi 10,08 persen pada survei kedua"
Popularitas Dedi pada survei kedua adalah 11,60% sedangkan elektabilitasnya 10.06%.
Kalau popularitas dan elektabilitas Dedi tersebut tertukar, maka seharusnya popularitas Dedi 10,06% sedangkan elektabilitasnya 11,60%.
Sederhananya, popularitas Dedi di bawah elektabilitasnya. Jadi,.ada responden yang tidak mengenal Dedi tetapi memilihnya. Dalam sebuah survei, hal ini sangat tidak mungkin.