Pemosisian Anies Baswedan oleh media ini berbanding terbalik dengan pemosisian terhadap Jokowi. Sejak masa kampanye Pilgub 2012, Jokowi selalu disorot dengan bingkai positif. Bingkai positif inilah yang membuat sentimen positif terhadap Jokowi terus meningkat yang ujungnya ada pada meroketnya tingkat elektabilitas.
Artinya, hubungannya antara sorot media dengan meningkatnya elektabilitas tidak selalu seiring sejalan.
Jika mengacu pada pantauan PoliticaWave selama musim Pilpres 2014, sentimen positif (baik itu yang bersumber dari media arus utama maupun medisos) untuk Jokowi tercatat tiga kali lipat sentiman negatif yang disarangkan kepada mantan Walikota Surakarta tersebut.
Dari selisih antara sentimen positif dan sentimen negatif itulah didapat net sentimen Jokowi yang jauh mengungguli net sentimen Prabowo. Dari net sentimen itulah elektasbilitas Jokowi pun mengalahkan elektabilitas Prabowo.
Lantas, bagaimana dengan Anies Baswedan?
Tetapi, apapun itu, munculnya Anies Baswedan yang berdampak pada menurunnya tingkat elektabilitas Jokowi sudah diperkirakan jauh hari sebelum lembaga-lembaga survei itu merilis hasil surveinya. Artinya, Anies sudah menjadi antitesis bagi Jokowi.
Sifat keantitesisan Anies Baswedan terhadap Jokowi inilah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Prabowo untuk lebih menggerus elektabilitas Jokowi.
Salah satu caranya, tentu saja, dengan tidak menurunkan Anies Baswedan, baik itu sebagai capres maupun cawapres, dalam Pilpres 2019. Ini langkah pertama Prabowo untuk memosisikan jika Anies berbeda dengan Jokowi, bahkan bertolak belakang. Dengan demikian, posisi antitesis Anies terhadap Jokowi semakin menguat.
Lewat langkah pertamanya tersebut, Prabowo sudah dapat merontokkan tingkat elektabilitas Jokowi. Prabowo bisa menyandingkan Anies Baswedan dengan Tri Rismaharini yang menolak keras ketika didesak melepaskan jabatannya sebagai Walokota Surabaya untuk maju dalam Pilgub Dki 2017 dan Pilgub Jatim 2018.