Tampang.com | Pada tahun 1994, dunia dikejutkan oleh peristiwa kelam yang terjadi di Rwanda. Genosida Rwanda, yang berlangsung selama sekitar 100 hari, merenggut nyawa lebih dari 800.000 orang dari etnis Tutsi dan Hutu yang moderat. Dalam hitungan minggu, negara kecil di Afrika Tengah ini berubah menjadi ladang pembantaian, ketika kekerasan etnis yang telah lama terpendam meledak menjadi konflik yang mengerikan.
Latar belakang konflik ini bisa ditelusuri ke sejarah panjang ketegangan etnis antara Tutsi dan Hutu. Sebelum kolonialisasi, kedua kelompok tersebut hidup berdampingan dengan relatif damai. Namun, ketika Belanda dan kemudian Prancis memasuki Rwanda sebagai penjajah, mereka mulai menciptakan perbedaan yang lebih mencolok dengan memberikan kekuasaan lebih kepada Tutsi, yang dianggap memiliki status dan sifat fisik yang lebih "ideal". Ketika Rwanda merdeka pada 1962, ketegangan ini memuncak. Hutu mengambil alih kekuasaan, yang mengarah pada berbagai aksi balas dendam terhadap Tutsi. Dalam konteks inilah genosida pada tahun 1994 muncul.
Selama genosida, kelompok ekstremis Hutu, yang dikenal sebagai Interahamwe, dengan cepat mengorganisir dan melancarkan serangan terhadap populasi Tutsi. Senjata tajam, seperti parang dan kapak, menjadi alat pembantaian yang paling umum. Kejahatan perang dan penganiayaan seksual juga meluas, menyoroti kekejaman yang dialami korban. Masyarakat internasional, khususnya PBB, mendapatkan laporan awal mengenai meningkatnya ketegangan, tetapi mereka lambat mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan kekerasan tersebut.