Kemenangan pasangan Anies-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 dan kemenangan pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 di Jabar membuat posisi Prabowo berada di atas angin.
Dan, Prabowo akan lebih mengangkasa lagi jika memenangi Pilgub Jabar 2018 yang digelar bebarengan dengan dimulainya tahun politik ini. Lewat Pilgub Jabar 2018 ini, elektabilitas Prabowo pun akan kembali menguat.
Menguatnya elektabilitas Prabowo merupakan ancaman bagi kutub pendukung Jokowi, termasuk kubu purnawirawan jenderal pro-Wiranto. terlebih, elektabilitas Jokowi pun masih berada di tingkat rawan.
Strategi meredam peluang kemenangan Prabowo dalam Pilpres 2019 pun digelar. Deddy Mizwar yang selama ini identik dengan Gerindra dan Prabowo pun kemudian diserobot.
Lagi-lagi SBY menunjukkan kecerdasan politiknya. Dengan diserobotnya Deddy, SBY mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, elektabilitas Deddy yang tinggi, terlebih jika menghitung elektabiitas kutub Prabowo, akan memberikan kemenangan kepada SBY dan Demokrat.
Kedua, dengan menggaet Deddy dan kemudian menggalang koalisi bersama PKS dan PAN, SBY mencoba merangkul kembali kelompok Islam pasca keputusan Demokrat yang menerima Perppu Ormas.
Ketiga, SBY mencoba menggerus pamor Prabowo yang mendominasi kutub lawan Jokowi. Dengan menggerus pamor Prabowo, maka SBY telah mengecilkan peluang kemenangan Prabowo dalam Pilpres 2019.
Strategi Ciamik SBY untuk Kembali Hadang Pencapresan Prabowo
Posisi SBY dengan Partai Demokrat yang dimotorinya sebenarnya sangat unik. Meski para pendukungnya mengarah pada kutub Prabowo, tetapi SBY dan partainya memilih untuk tetap netral.
Dalam pilihan politiknya, bahkan SBY memilih untuk tidak mengarahkan partainya mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Padahal, Hatta tidak lain dan tidak bukan merupakan besannya sendiri, mertua dari anak kandungnya sendiri, kakek kandung dari cucu kandungnya sendiri, dan ayah kandung dari menantunya sendiri.
Karenanya tidak mengherankan jika pada putaran kedua Pilgub DKI Jakarta 2017, SBY kembali membawa Demokrat mengambil posisi netral.
Dan, jika menelusuri rekam jejaknya, SBY bukan saja tidak pernah mendukung Prabowo, mantan Presiden RI Keenam itu bahkan merupakan salah seorang seteru abadi Prabowo.
Pada 1998, SBY merupakan salah seorang dari tujuh perwira tinggi ABRI yang menandatangani rekomendasi pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliterannya.
Pada 2009, dalam pidato yang dibacakannya beberapa jam setelah aksi teror di Rirtz-Marriott, SBY menyebut adanya drakula yang belum tersentuh hukum atas kejahatannya di masa lalu. Penyebutan kata “drakula” itu kemudian dianggap mengarah ke sosok Prabowo.
Kemudian, pada 2013, kader-kader muda Demokrat, Ketua Pusat Pengembangan Strategis dan Kebijakan DPP Ulil Abshar Abdalla, Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM Rachlan, Biro Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat M Husni Thamrin, dan Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum Didi Irawadi Syamsuddin.dibrtitakan berupaya menghadang pencapresan Prabowo (Sumber: KOMPAS.COM)
Diserobotnya Deddy pun kemungkinan tidak lepas dari upaya SBY untuk menggerogoti kekuatan Prabowo yang saat ini tengah berada di atas angin dalam menyongsong Pemilu 2019, khususnya Pilpres 2019.