Bagi masyarakat luas, mungkin bukan persoalan serius, tidak penting, dan tidak jadi soal. Tetapi secara moralitas, memberikan beban moral dan psikososial yang kurang baik bagi mereka yang memilih Ahok dan Djarot, atau Djarot berpikiran langkah tersebut merupakan cara yang efektif untuk menjaga hubungan emosional dengan pendukungnya, dan akan menjadi kekuatan baru bersama Ahok yang akan keluar dari penjara 1,5 tahun mendatang.
Tidak demikian halnya dengan penyelenggara pemerintahan. Langkah Djarot sebagai Gubernur (lama) tidak menghadiri pelantikan dan tidak melakukan serah terima langsung jabatan kepada Gubernur baru, merupakan preseden buruk, dan contoh yang kurang baik dalam rangka penyelenggaraan pemerintah yang baik. Bukan tidak mungkin suatu saat, Kepala SKPD Pemda DKI Jakarta yang dimutasi atau diberhentikan begitu saja meninggalkan unit kerjanya, dan melakukan proses serah terima oleh Plh SKPD yang ditunjuknya. Jangan lupa biasanya dalam serah terima itu ada juga diserahkan Memori Tugas pejabat lama yang diserahkan kepada pejabat baru.
Inilah salah satu penyebab rusaknya suatu sistem.. Lebih rumit lagi yang merusak bukan level bawahan tetapi pemimpin itu sendiri.
Bagi penyelenggara negara, ini persoalan prinsip, yaitu membangun rasa tanggungjawab atas beban yang diamanahkan negara kepada penyelenggara negara. Tidak ada urusannya dengan persoalan politik tetapi terkait penghormatan terhadap simbol lembaga pemerintahan.