Banyak orang percaya bahwa mengorbankan segalanya demi cinta adalah tanda cinta yang besar. Sayangnya, pengorbanan tanpa batas seringkali berujung pada hilangnya identitas diri. Sebuah hubungan yang sehat seharusnya tetap menghargai individualitas masing-masing pasangan. Cinta yang sesungguhnya mendukung kita untuk tetap utuh dan memiliki waktu untuk diri sendiri tanpa rasa bersalah.
Konflik juga acap kali dianggap sebagai tanda cinta yang bertenaga. Namun, siklus pertengkaran yang berulang—tegang, meledak, dan berbaikan—seringkali hanya menciptakan ketidakstabilan. Cinta yang sejati dapat menangani masalah dengan tenang dan saling pengertian, tanpa harus melukai satu sama lain.
Kecemasan yang dirasakan ketika jatuh cinta sering kali dipandang sebagai hal yang normal, tetapi sebenarnya itu bukan cinta. Sensasi deg-degan dan rasa mual lebih mencerminkan ketidaknyamanan daripada kebahagiaan. Sebaliknya, cinta yang tulus memberi kita rasa tenang yang nyaman, seolah-olah kita kembali ke rumah, bukan berlari tanpa tujuan.
Sering kali kita melakukan perhitungan skor dalam hubungan, seperti siapa yang terakhir mengucapkan "aku cinta kamu" atau siapa yang lebih sering melakukan pekerjaan rumah. Padahal, cinta sejati tidak memerlukan perhitungan seperti itu. Cinta yang tulus muncul dari keinginan untuk saling memberi tanpa merasa berutang.