Grasi dalam sistem hukum Indonesia merupakan sebuah konsep yang memiliki peranan penting dalam memberikan pengampunan kepada narapidana yang sedang menjalani hukuman. Grasi secara umum diartikan sebagai kewenangan presiden untuk memberikan pengampunan, pengurangan atau perubahan jenis hukuman yang telah dijatuhkan kepada seorang narapidana. Konsep grasi ini memiliki kekuatan yang besar, namun penggunaannya tetap harus memperhatikan prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Grasi sering kali diartikan sebagai tindakan hukum yang bertujuan memberikan kesempatan kedua kepada narapidana yang telah dihukum. Dengan grasi, presiden memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan yang dapat berupa pengurangan masa hukuman, perubahan jenis hukuman, atau bahkan pembebasan narapidana secara langsung. Pemberian grasi dilakukan setelah mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan, termasuk pertimbangan kemanusiaan, sosial, dan kasus hukum yang bersangkutan.
Dalam konteks hukum Indonesia, grasi diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dalam UUD 1945, pasal 14 ayat (1) menjelaskan bahwa presiden mempunyai kewenangan untuk memberikan grasi. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 lebih lanjut mengatur prosedur pelaksanaan hak grasi, termasuk syarat-syarat, prosedur pengajuan, dan pertimbangan yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, pemberian grasi merupakan upaya yang diatur secara ketat dan harus memperhatikan asas keadilan, kemanusiaan, serta kepentingan umum.