Polisi memiliki prosedur standar dalam menghadapi demonstrasi. Biasanya, langkah pertama adalah pengamanan dan pengawasan. Polisi akan menempatkan personel untuk mengamankan lokasi, memantau jalannya aksi, dan berkomunikasi dengan koordinator demonstrasi. Dialog ini sangat penting untuk mencegah kesalahpahaman. Jika ada pelanggaran, polisi akan memberikan peringatan verbal terlebih dahulu.
Namun, situasi bisa berubah jika demonstrasi mulai tidak kondusif. Di sinilah polisi berwenang untuk mengambil langkah-langkah progresif sesuai dengan eskalasi situasi. Penggunaan kekuatan, jika memang diperlukan, harus bersifat proporsional dan terukur. Artinya, tingkat kekuatan yang digunakan harus sebanding dengan tingkat ancaman. Misalnya, penggunaan tameng dan barikade untuk menahan massa yang mulai anarkis, penggunaan gas air mata untuk membubarkan kerumunan yang sudah melakukan perusakan atau penyerangan, hingga penangkapan terhadap provokator atau pelaku kejahatan.
Penggunaan kekuatan yang tidak proporsional, seperti kekerasan fisik yang berlebihan, penembakan, atau intimidasi yang tidak perlu, adalah pelanggaran HAM dan melanggar kode etik kepolisian. Kejadian-kejadian seperti itu seringkali menjadi alasan mengapa citra polisi terlihat menindas, padahal tindakan tersebut adalah penyimpangan dari prosedur yang seharusnya.
Peran Mediasi dan Pencegahan Konflik
Selain peran pengamanan, polisi juga punya peran penting sebagai mediator dan pencegah konflik. Dalam banyak kasus, polisi yang terlatih akan mencoba meredakan situasi tegang melalui negosiasi. Mereka akan berdialog dengan koordinator lapangan untuk mencari solusi dan menghindari konfrontasi fisik. Peran ini menuntut polisi untuk memiliki keterampilan komunikasi yang baik, empati, dan kesabaran.