Selain itu, pelaksanaan SPPG di Sulawesi Tenggara juga mengusung prinsip keberlanjutan dengan mengutamakan gaya hidup bebas sampah atau zero waste. Menurut Agnes, setiap sisa makanan yang kembali dari ompreng anak-anak penerima manfaat tidak serta-merta dibuang begitu saja, melainkan dikumpulkan, ditimbang, dan dievaluasi kembali. Jika ada bahan makanan yang kurang diminati, maka akan diolah ulang agar tidak terbuang percuma. “Sampah makanan itu kami jadikan potensi baru. Misalnya di Kota Baubau, camat setempat membangun rumah maggot dan rumah kompos. Dari situ muncul pakan ternak sekaligus pupuk organik untuk pertanian,” jelasnya.
SPPG sendiri beroperasi 24 jam untuk memastikan dapur MBG berjalan lancar, mulai dari distribusi makanan hingga evaluasi menu harian. Evaluasi tersebut sangat penting karena variasi menu harus sesuai dengan kebutuhan gizi berbagai kelompok, termasuk anak-anak sekolah yang aktif, ibu hamil yang membutuhkan asupan tambahan, serta balita yang sedang tumbuh kembang.
Program MBG pun terbukti melampaui sekadar agenda kesehatan dan gizi. Ia telah menjadi motor penggerak ekonomi baru, terutama di daerah. Data Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat bahwa hingga pertengahan Agustus 2025 sudah berdiri 5.905 dapur MBG atau SPPG yang melayani sekitar 20,5 juta penerima manfaat. Menariknya, pendirian ribuan dapur itu dilakukan melalui kolaborasi dengan pengusaha lokal, organisasi masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat, tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Nilai investasi yang berhasil digerakkan masyarakat untuk infrastruktur dapur diperkirakan mencapai Rp12 triliun.