Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menaruh perhatian besar pada Desa Tommo di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Desa yang terbentuk dari program transmigrasi pada 1983 ini dinilai memiliki potensi besar untuk berkembang sebagai desa wisata unggulan di wilayah Sulbar, berkat kekayaan budaya, tradisi, serta keragaman masyarakatnya.
Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa saat kunjungan kerjanya pada Selasa (26/8) menyebut, Desa Tommo bisa menjadi destinasi alternatif bagi wisatawan domestik maupun mancanegara yang ingin menikmati ritual keagamaan Hindu tanpa harus jauh-jauh ke Bali.
“Banyak orang datang ke Bali hanya untuk menyaksikan Ngaben. Saya pikir, ke depan masyarakat cukup datang ke Desa Tommo untuk melihat prosesi tersebut. Tentu hal ini akan jadi daya tarik besar, asal kita dukung dengan fasilitas dan pengelolaan yang baik,” ujar Ni Luh dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (27/8).
Desa Tommo memiliki sejarah panjang yang unik. Awalnya, desa ini dihuni oleh transmigran asal Bali yang kemudian berbaur dengan masyarakat lokal Bugis, Mandar, serta etnis lain seperti Jawa, Sunda, dan Toraja. Hingga kini, Desa Tommo dikenal sebagai desa multietnis yang hidup rukun berdampingan dengan menjunjung tinggi nilai toleransi.
Mayoritas masyarakat Desa Tommo masih memegang erat tradisi Hindu Bali, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Dua perayaan penting yang rutin diselenggarakan adalah Nyepi dan Ngaben.