Pada persidangan yang sama, mantan Sekretaris Badan Karantina Kementan, Wisnu Haryana, juga menyebutkan bahwa Nayunda pernah dititipkan sebagai tenaga kontrak honorer yang menerima gaji melalui Sekjen Kasdi Subagyono pada Badan Karantina Kementerian Pertanian RI. Namun, karena Nayunda tidak pernah masuk kantor selama satu tahun, Wisnu kemudian mengeluarkannya dari daftar tenaga kontrak honorer.
Adapun kasus yang menjerat SYL bersama dua terdakwa lainnya yaitu Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan Muhammad Hatta, adalah kasus dugaan pemerasan hingga mencapai Rp44.546.079.044 dan gratifikasi dianggap suap sejumlah Rp40.647.444.494 selama periode 2020-2023. SYL juga telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang masih dalam tahap penyidikan di KPK.
Persidangan ini memunculkan perbincangan luas di masyarakat terkait hubungan antara pejabat publik dengan penerimaan hadiah atau hadiah. Peraturan yang mengatur mengenai gratifikasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam undang-undang tersebut, gratifikasi dinyatakan sebagai pemberian dari seseorang atau badan kepada penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintah dengan tujuan untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan. Hal ini memiliki korelasi dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, di mana setiap penyelenggara negara diharapkan untuk bertindak secara transparan, bertanggung jawab, adil, serta berorientasi pada kepentingan masyarakat.