Singapore Airlines, salah satu maskapai penerbangan terkemuka dunia, baru-baru ini meminta maaf atas insiden turbulensi yang serius yang terjadi pada penerbangan rute London-Singapura. Insiden tersebut menimbulkan satu kematian penumpang dan melukai sejumlah penumpang lainnya. Direktur Utama Singapore Airlines, Goh Choon Pong, dengan tulus mengekspresikan penyesalannya dan menegaskan bahwa perusahaan sedang bekerja sama dengan otoritas terkait untuk menyelidiki kasus ini.
Pesawat SQ321, yang membawa 211 penumpang dan 18 awak kabin, mengalami turbulensi parah saat melintasi Samudra Hindia, menyebabkannya anjlok lebih dari 1.800 meter dalam tiga menit. Dengan dampak traumatis yang dirasakan oleh penumpang dan awak kabin, maskapai penerbangan ini tidak hanya mengalami kerugian finansial tetapi juga menciptakan kerawanan bagi keselamatan penumpang.
Pernyataan dari direktur utama ini menimbulkan pertanyaan yang tidak hanya terbatas pada insiden tertentu, tetapi juga pembahasan lebih luas mengenai perubahan iklim dan dampaknya terhadap kondisi cuaca yang memengaruhi penerbangan. Seiring dengan pertanyaan ini, kita diingatkan akan pentingnya mempertimbangkan perubahan iklim dalam perencanaan penerbangan di masa depan.
Turbulensi parah jarang terjadi dalam penerbangan komersial, dengan risiko kejadian serius yang relatif rendah. Namun, apakah ada faktor eksternal, seperti perubahan iklim, yang dapat membuat kejadian turbulensi semakin parah?