Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat jingga yang indah di langit. Angin sore berhembus pelan, membawa kesejukan ke teras rumah tempat Bapak dan Aku duduk berdampingan.
"Pak, aku merasa hidup ini tidak adil," ucapku, dengan penuh keluhan.
Bapak menoleh, mengangkat alisnya. "Kenapa begitu, Nak?"
Aku menghela napas. "Ada orang yang terlahir kaya, ada yang pintar sejak lahir, ada yang hidupnya enak tanpa usah usaha. Sementara yang lain harus berjuang mati-matian mengantre hanya untuk sebuah Gas LPG. Rasanya seperti dunia ini tidak memberikan kesempatan yang sama untuk semua orang."
Bapak tersenyum tipis. Ia meraih cangkir tehnya, menyesapnya perlahan sebelum berkata, "Kamu merasa manusia tidak diberi kesempatan yang sama?"
Aku mengangguk. "Iya, Pak. Bukankah hidup itu seharusnya adil?‘
Bapak menatap langit senja. "Nak, kamu tahu? Manusia itu sebenarnya makhluk yang punya privilege terbesar dibanding makhluk lain."
Aku mengernyit. "Privilege? Maksudnya kaya raya, punya bapak seorang presiden, punya paman seorang hakim, dan punya akses ke segala hal?"
Sang ayah menggeleng. "Bukan itu. Privilege terbesar manusia bukan pada harta atau status sosial, tapi pada apa yang Allah berikan sejak kita lahir—akal, hati, dan tubuh yang bisa bergerak untuk berbuat sesuatu."
Ia kemudian melanjutkan dengan suara yang lebih dalam. "Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
'Dan sungguh, telah Kami muliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.' (QS. Al-Isra’: 70)
Itu artinya, setiap manusia punya modal dasar untuk menjalani hidup dengan baik. Kita bisa berpikir, memahami, memilih, dan berusaha. Itu privilege yang tidak dimiliki makhluk lain."