Untuk hasil meyakinkan, tim peneliti melanjutkan eksperimen dengan 60 orang dewasa di Vancouver, Kanada.
Para peneliti memberikan uang pada partisipan sebesar 40 dollar Kanada sekitar Rp 420.000 selama dua akhir minggu berturut-turut. Uang tersebut untuk membeli barang pada satu minggu dan membeli layanan yang menghemat waktu, seperti memperkerjakan pengasuh anak atau pembersih rumah, pada minggu lainnya.
Secara umum, partisipan melaporkan efek positif yang lebih tinggi setelah membeli layanan yang menghemat waktu dibandingkan dengan membeli barang.
Sayangnya, mayoritas orang tidak mau menukarkan uangnya dengan waktu. Pada survei terpisah dengan 98 orang dewasa di Vancouver, para peneliti menemukan bahwa hanya dua persen orang yang mau membeli lebih banyak waktu. Lalu, dalam survei di Belanda, hanya setengah dari milyuner yang secara rutin, membayar orang lain untuk mengerjakan tugas yang tidak mereka sukai.
Penemuan ini pun membuat Sanford DeVoe, seorang dosen psikologi di University of California yang tidak terlibat dalam studi tersebut, heran. Dia berkata bahwa walaupun mayoritas orang merasa kekurangan waktu sehingga mengalami stres, depresi dan kurang tidur, hanya sedikit yang mau mengeluarkan uangnya untuk mendapat lebih banyak waktu.