Masa kuliah sering disebut sebagai salah satu fase paling dinamis dalam hidup. Penuh dengan kebebasan, eksplorasi diri, dan kesempatan untuk membangun masa depan. Di balik semua itu, banyak mahasiswa yang merasakan adanya kegelisahan mendalam, kebingungan akan tujuan hidup, dan kekhawatiran berlebihan tentang masa depan. Kondisi ini, yang dikenal sebagai quarter life crisis atau krisis seperempat abad, tidak lagi hanya dialami oleh para lulusan baru, tetapi juga semakin banyak menghampiri mahasiswa di tingkat akhir. Ini bukan sekadar rasa galau biasa, melainkan sebuah pergolakan batin yang kompleks.
Tekanan Akademik dan Ekspektasi yang Tinggi
Salah satu pemicu utama quarter life crisis di kalangan mahasiswa adalah tekanan akademik yang intens. Kurikulum yang padat, tuntutan untuk mendapat nilai sempurna, dan persaingan ketat di antara sesama mahasiswa bisa sangat menguras energi mental. Selain itu, ada ekspektasi untuk aktif di berbagai organisasi, magang, dan membangun portofolio yang mengesankan. Mahasiswa merasa harus menjadi versi sempurna dari diri mereka untuk bisa bersaing di dunia kerja nantinya.
Di saat yang sama, ekspektasi dari keluarga dan lingkungan juga ikut membebani. Orang tua mungkin berharap melihat anaknya lulus dengan predikat terbaik dan langsung mendapatkan pekerjaan bergengsi. Tekanan ini menciptakan sebuah ilusi bahwa hidup harus berjalan sesuai rencana yang telah ditentukan, padahal realitasnya seringkali jauh lebih rumit. Kegagalan atau ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi ini bisa memicu rasa cemas, merasa tidak berharga, dan mempertanyakan kembali semua pilihan yang telah diambil.