Psikologi sosial menjelaskan fenomena ini dengan meneliti hubungan antara individu dan masyarakat. Ketika kita melihat diri kita melalui lensa kolektif, terkadang kita melupakan pentingnya menjaga keseimbangan antara memberi dan menerima. Menjadi seseorang yang selalu siap membantu, sering kali diharapkan untuk mengorbankan diri demi kepentingan orang lain, menjadikan diri kita merasa kurang berharga jika tidak dapat memenuhi harapan tersebut. Akibatnya, tekanan sosial untuk terus-menerus ada untuk orang lain dapat menjadi bumerang, mengorbankan kesehatan mental kita sendiri.
Ada pula dampak dari norma sosial yang mendorong kita untuk menjadi “penolong” yang ideal. Pemikiran seperti, “Jika aku tidak membantu, siapa lagi yang akan melakukannya?” dapat memicu rasa tanggung jawab yang berlebihan. Bukan hanya waktu dan energi yang terbuang, tetapi juga dapat muncul rasa gagal atau merasa tidak berguna ketika kita merasa tidak bisa memenuhi tuntutan lingkungan sekitar. Hal ini semakin memperparah kondisi self-neglect yang dialami.
Belum lagi jika ditambah dengan stigma yang sering kali menyertai pembicaraan tentang kesehatan mental dan pengabaian diri. Mereka yang berjuang dengan self-neglect sering kali merasa terasing, seolah-olah tidak ada yang memahami perjuangan mereka. Stigma ini membuat banyak individu enggan untuk mencari bantuan, memperburuk rasa tertekan dan kesepian yang mereka alami. Situasi ini menjelaskan mengapa seseorang yang tampaknya sangat peduli pada orang lain bisa jadi sangat acuh tak acuh terhadap diri mereka sendiri.