Isu mengenai kesenjangan upah berbasis gender, atau yang sering dikenal dengan istilah gender pay gap, merupakan masalah yang acap kali diabaikan di berbagai belahan dunia. Meski demikian, fakta menunjukkan bahwa kesenjangan ini nyata adanya dan masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara.
Menurut laporan terbaru dari The Economist, di kalangan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)—sebuah kelompok yang sebagian besar terdiri dari negara-negara berpenghasilan tinggi—kesenjangan upah median berdasarkan gender masih mencengangkan, berada di angka 11,4%. Sayangnya, angka ini mencerminkan peningkatan dibandingkan dengan angka terendah yang tercatat pada tahun 2020, yaitu 11,1%. Hal ini menandakan bahwa meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, kesenjangan tetap bertahan.
Rata-rata, pekerja perempuan menerima gaji yang lebih rendah sebesar 11,4% jika dibandingkan dengan rekan-rekan laki-laki mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa walaupun perempuan kini lebih banyak menempati posisi kerja di berbagai sektor, mereka masih menghadapi berbagai tantangan yang membuat upah mereka tidak setara dengan laki-laki.
Sejumlah negara telah berusaha mengambil langkah-langkah tegas untuk mengatasi diskriminasi upah berbasis gender ini. Namun, meskipun ada regulasi yang ditetapkan untuk menutup kesenjangan ini, kenyataannya kesenjangan substansial masih terus ada. Bahkan di negara-negara yang dianggap maju, seperti Jepang dan Australia, situasi ini tampaknya malah semakin buruk. Riset menunjukkan bahwa perempuan di Jepang, misalnya, menghadapi budaya kerja yang dikenal sebagai "karoshi" atau kematian akibat terlalu banyak bekerja, yang kian memperburuk posisi mereka dalam dunia kerja.