Gaji yang rendah sering kali berkaitan dengan pekerjaan yang lebih berisiko, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental. Pekerja yang terjebak dalam lingkaran gaji rendah juga cenderung lebih rentan terhadap stres. Stres berkepanjangan ini dapat berkontribusi pada berbagai isu kesehatan, termasuk gejala depresi, kelelahan, dan masalah kardiovaskular.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja berpendapatan rendah sering melaporkan kondisi kesehatan yang buruk dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang mendapatkan upah lebih tinggi. Mereka juga lebih mungkin mengalami gejala depresi dan bahkan lebih jarang memiliki asuransi kesehatan yang memadai, yang dapat melindungi mereka dari risiko kesehatan yang lebih besar.
Menurut para peneliti, "Upah adalah faktor risiko yang dapat diubah dan ditindaklanjuti untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi ketidaksetaraan". Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan gaji bisa menjadi langkah awal yang strategis. Meningkatkan upah bukan hanya sekadar memberikan keuntungan finansial, tetapi juga merupakan investasi dalam kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Walau dalam dua tahun terakhir ada pergeseran dalam komposisi pasar tenaga kerja yang menyebabkan kenaikan upah di AS, kenaikan tersebut sering kali tidak cukup untuk melawan inflasi yang merangkak naik. Menurut data Indeks Biaya Ketenagakerjaan yang dirilis oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS, ketika disesuaikan dengan inflasi, upah sebenarnya turun sekitar 1,2 persen dalam setahun. Ini menjadi berita buruk bagi pekerja yang sudah berada dalam situasi keuangan yang sulit.
Kenaikan upah yang dilaporkan lebih besar umumnya hanya terasa bagi pekerja dengan penghasilan rendah dan menengah, khususnya dari sektor rekreasi dan perhotelan. Namun, banyak dari mereka tetap merasakan ketidakadilan dalam distribusi pendapatan. Bahkan dengan kenaikan upah, pendapatan rumah tangga tetap tidak seimbang, dan pekerja dalam kategori ini terus terjebak dalam situasi yang merugikan akibat inflasi yang meningkat.