Menikah dengan sahabat menjadi jalan tengah yang dipilih oleh sebagian orang untuk menghindari intervensi keluarga sekaligus memenuhi tuntutan sosial yang mengharuskan seseorang untuk "menikah tepat waktu".
Salah satu contoh adalah Meilan, perempuan berusia akhir 20-an asal Chongqing, Tiongkok bagian barat daya. Ia menikahi sahabat prianya empat tahun lalu tanpa menggelar resepsi atau menjalani tradisi adat. Keduanya sepakat tidak memiliki anak dan menjalani kehidupan sebagai "pasangan" dalam pengertian administratif, bukan romantis.
Manfaat dan Nilai Praktis
Menurut Meilan, status pernikahan tersebut memberi mereka keuntungan legal seperti hak menjadi wali satu sama lain dalam kondisi darurat medis. Mereka juga dapat mengelola keuangan bersama, termasuk menyisihkan sebagian pendapatan untuk keperluan liburan berdua.
Mereka tidur di kamar terpisah, tidak melakukan hubungan seksual, dan tetap menjaga batasan pribadi di rumah bersama. Meskipun tidak menjalani kehidupan seperti pasangan romantis pada umumnya, mereka merasa cukup nyaman karena pernikahan itu dibangun di atas rasa saling percaya dan pengertian.
Fenomena Global: Tidak Hanya di China
Tren serupa juga terjadi di Jepang, di mana sudah ada agensi khusus yang menawarkan layanan perjodohan untuk pernikahan persahabatan. Klien mereka berasal dari berbagai latar belakang, termasuk individu aseksual, homoseksual, atau bahkan heteroseksual yang kecewa dengan institusi pernikahan tradisional.
Namun, berbeda dengan Jepang yang mulai membuka diri terhadap bentuk pernikahan nonkonvensional ini, masyarakat China cenderung lebih tertutup. Meskipun begitu, pertumbuhan tren ini tetap terasa secara perlahan namun pasti di berbagai kota besar.
Pro dan Kontra Pernikahan Persahabatan