Faktor Ekonomi – Pernikahan membutuhkan biaya besar, sehingga sebagian pasangan memilih kohabitasi sebagai solusi sementara.
Prosedur Perceraian yang Rumit – Banyak pasangan menghindari pernikahan karena takut menghadapi proses perceraian yang kompleks dan memakan waktu lama.
Penerimaan Sosial – Di beberapa komunitas, terutama di daerah urban, kohabitasi mulai diterima sebagai sesuatu yang lumrah.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Kumpul Kebo
Meski dianggap sebagai solusi praktis bagi sebagian pasangan, kumpul kebo memiliki konsekuensi yang tidak bisa diabaikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Menurut Yulinda, dalam kohabitasi tidak ada perlindungan hukum terkait jaminan finansial bagi ibu dan anak seperti yang berlaku dalam pernikahan resmi.
Ketika pasangan yang hidup bersama tanpa menikah akhirnya berpisah, tidak ada regulasi yang mengatur pembagian aset, hak asuh anak, atau tunjangan finansial. Akibatnya, perempuan sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan dalam situasi ini.
Dari aspek kesehatan mental, kohabitasi juga dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan pasangan menikah. Minimnya komitmen dalam hubungan semacam ini sering kali menimbulkan rasa tidak aman dan ketidakpastian mengenai masa depan.
Menurut data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) yang dilakukan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam berbagai bentuk. Dari jumlah tersebut:
-
0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal.
-
0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara itu, anak-anak yang lahir dari pasangan kohabitasi juga berisiko mengalami gangguan perkembangan emosional dan sosial. Dalam beberapa kasus, mereka menghadapi stigma sosial dan diskriminasi, bahkan dari keluarga mereka sendiri. Rasa tidak diakui ini dapat berdampak pada identitas dan kesejahteraan psikologis mereka.