Terkait stigma negatif terhadap akiya, Tetsuya Kaneko menyatakan bahwa rumah-rumah tersebut sering dianggap sebagai beban, terutama karena biaya renovasi yang tinggi di Jepang. Hal ini menyebabkan rumah-rumah yang diwarisi dari orang tua ke anaknya seringkali dijual atau tidak ditempati.
Khususnya, rumah-rumah yang berusia lebih dari 30 tahun umumnya dianggap sebagai rumah yang sudah tua, bahkan beberapa orang mengasosiasikannya dengan takhayul, percaya bahwa rumah-rumah tersebut mungkin berhantu atau membawa nasib buruk.
Pada akhirnya, Michael, pendiri blog real estat Cheap Houses Japan, menegaskan bahwa banyak orang di Jepang melihat akiya sebagai barang yang tidak berharga bahkan merepotkan.
Properti dengan harga termurah sering kali terjadi karena alasan tertentu, baik itu karena lokasinya tidak diinginkan maupun biaya renovasinya diperkirakan melebihi nilai properti.
Permasalahan ini mendorong munculnya minat dari warga negara asing untuk membeli properti di Jepang. Menurut Tetsuya Kaneko, peningkatan minat asing tersebut sebagian besar didorong oleh pandemi, tren kerja jarak jauh, dan pergeseran preferensi gaya hidup.
Sebagai contoh, Anton Wormann, seorang pria asal Swedia, merupakan salah satu dari mereka yang tertarik untuk membeli properti di Jepang mengingat harga properti yang terjangkau.
Setelah berkeliling dunia dan bekerja sebagai model, dia akhirnya memutuskan untuk menetap di Jepang pada 2018 setelah mengetahui bahwa Jepang menjual rumah dengan harga yang cukup murah. Saat ini, Wormann telah memiliki tujuh akiya, dan bekerja sebagai pembuat konten penuh waktu dan investor real estat di Jepang.