Fenomena ini dapat memicu perbandingan sosial yang tidak sehat. Melihat selfie dan video orang lain yang juga menggunakan filter dengan tampilan yang nyaris sempurna dapat menciptakan standar kecantikan yang tidak realistis dan sulit dicapai dalam kehidupan nyata. Akibatnya, muncul perasaan tidak puas dengan diri sendiri, rendah diri, dan bahkan kecemasan terhadap penampilan.
Lebih jauh lagi, ketergantungan pada beauty filter dapat mengikis kepercayaan diri otentik. Rasa percaya diri yang seharusnya bersumber dari penerimaan diri apa adanya menjadi rapuh dan bergantung pada validasi eksternal melalui tampilan yang sudah dimanipulasi. Ketika filter tidak digunakan, muncul perasaan telanjang dan tidak aman dengan penampilan sendiri.
Para ahli psikologi pun menyoroti potensi bahaya dari penggunaan beauty filter yang berlebihan. Penelitian menunjukkan adanya korelasi antara seringnya menggunakan filter wajah dengan peningkatan body image negatif dan bahkan gejala body dysmorphic disorder, yaitu kondisi mental di mana seseorang memiliki obsesi berlebihan terhadap kekurangan fisik yang mungkin tidak terlihat oleh orang lain.
Selain itu, beauty filter juga secara tidak langsung memperpetuasi standar kecantikan yang sempit dan tidak inklusif. Filter seringkali secara otomatis menghaluskan kulit, memutihkan warna kulit, meniruskan wajah, dan memperbesar mata, menciptakan representasi visual yang jauh dari keragaman penampilan manusia yang sesungguhnya. Hal ini dapat memberikan tekanan bagi individu untuk menyesuaikan diri dengan standar yang tidak realistis ini.