Tampang.com | Polemik penetapan upah minimum kembali mencuat jelang 2025. Kalangan buruh menyatakan bahwa formula perhitungan yang digunakan pemerintah tidak lagi relevan dengan realitas biaya hidup yang terus meningkat. Sementara di sisi lain, kalangan pengusaha mengeluhkan tekanan operasional jika upah dinaikkan terlalu tinggi.
Kesenjangan antara Upah dan Biaya Hidup
Meski upah minimum provinsi (UMP) dan kabupaten/kota (UMK) mengalami kenaikan setiap tahun, namun buruh menyebut nominalnya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, selisih antara UMP dan estimasi kebutuhan hidup bisa mencapai jutaan rupiah.
“Upah minimum hanya cukup untuk hidup pas-pasan, bukan untuk hidup layak. Kenaikan harga barang jauh lebih cepat dibanding kenaikan upah,” kata Dedi Pranoto, Ketua Serikat Buruh Nasional.
Formula Penetapan Upah Dinilai Usang
Pemerintah saat ini masih menggunakan formula yang merujuk pada PP Nomor 36 Tahun 2021, dengan komponen utama pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun banyak pihak menilai bahwa formula ini tidak memperhitungkan faktor riil seperti sewa tempat tinggal, transportasi, hingga kebutuhan pendidikan anak.