Pada intinya, penolakan Sri Mulyani terhadap target rasio pajak 23 persen merupakan ekspresi kehati-hatian dan pertimbangan atas kesejahteraan keuangan negara yang berkelanjutan dan tidak memberatkan pemerintah di masa mendatang.
Dalam konteks ini, Sri Mulyani memberikan perhatian yang tulus terhadap keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia dengan mengakui bahwa reformasi perpajakan adalah suatu keharusan. Namun, pengenaan target rasio pajak yang terlalu tinggi dapat menimbulkan tekanan yang tidak perlu.
Perlu diingat bahwa keberhasilan reformasi perpajakan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal ini mencakup integrasi teknologi, penguatan sistem pajak, serta peningkatan rasio pajak secara bertahap. Oleh karena itu, Sri Mulyani menekankan bahwa fokus utama saat ini adalah pada proses reformasi, bukan pada penetapan target rasio pajak yang terlalu ambisius.
Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan kesinambungan dan kesungguhan dalam upaya reformasi. Dengan demikian, penolakan Sri Mulyani terhadap target rasio 23 persen telah disertai dengan pemikiran yang matang atas keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menegaskan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) perlu dilakukan dengan kehati-hatian yang sama. Pengawasan yang ketat dan evaluasi yang cermat diperlukan untuk memastikan bahwa pendapatan negara dapat dioptimalkan tanpa menimbulkan tekanan yang berlebihan bagi kontributor pajak dan perekonomian secara umum.