Menurut Wisnu, bonus dipandang lebih fleksibel dibandingkan kenaikan gaji tetap. Jika performa perusahaan dan karyawan baik, bonus bisa lebih besar. Sebaliknya, ketika kondisi bisnis sedang sulit, bonus dapat disesuaikan bahkan dikurangi tanpa perlu mengubah struktur gaji pokok. Kompensasi berbasis performa seperti ini mulai menjadi strategi utama, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap fluktuasi pasar.
Laporan yang melibatkan lebih dari 1.200 profesional HR ini juga mencatat adanya upaya sebagian perusahaan untuk memperhitungkan faktor inflasi dalam kebijakan kenaikan gaji mereka. Namun sayangnya, hanya sekitar sepertiga dari perusahaan tersebut yang benar-benar mampu memberikan kenaikan gaji yang setara atau lebih tinggi dari inflasi.
Wisnu menjelaskan, hal ini menandakan adanya kesadaran dari perusahaan terhadap tekanan biaya hidup yang dihadapi karyawan, namun keterbatasan finansial membuat banyak dari mereka belum bisa memberikan kompensasi yang ideal. Ini menjadi dilema besar: antara ingin mempertahankan talenta dengan upah kompetitif, namun juga harus menjaga kesehatan keuangan perusahaan.
Fenomena ini tidak terlepas dari tren efisiensi operasional yang mulai banyak dilakukan perusahaan. Sepanjang 2024, sekitar 42% perusahaan mengaku melakukan pemangkasan jumlah tenaga kerja, naik signifikan dibanding tahun 2023 yang berada di angka 28%. Meski demikian, terdapat ironi menarik: sekitar 90% perusahaan masih berusaha mempertahankan atau bahkan menambah jumlah karyawan, namun dilakukan dengan pendekatan yang lebih strategis dan selektif.
Pola perekrutan pun mengalami pergeseran. Wisnu mengungkapkan bahwa kini semakin banyak perusahaan yang lebih berhati-hati dalam merekrut karyawan baru. Banyak dari mereka memilih untuk menawarkan posisi paruh waktu atau kontrak alih-alih perekrutan penuh waktu. Strategi ini dinilai lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan dinamika pasar yang tidak menentu.