Namun, semua teori ini sempat diragukan karena belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat. Hingga akhirnya, para peneliti menggunakan pendekatan modern dalam analisis genetik untuk menggali fakta. Dalam studi yang dipublikasikan pada Journal of the American Medical Association (JAMA) edisi 17 Februari, ditemukan bahwa kemungkinan besar Raja Tut meninggal akibat komplikasi malaria yang memperburuk kondisi tulangnya.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Zahi Hawass, mantan kepala Dewan Tertinggi Purbakala Mesir, menganalisis total 11 mumi dari kerajaan yang sama. Tujuan mereka bukan hanya mencari penyakit genetik atau infeksi, tetapi juga menelusuri kemungkinan adanya hubungan darah antarmumi serta penyebab spesifik kematian Raja Tut.
Penelitian ini menantang teori-teori lama yang menyebutkan Raja Tut wafat akibat kekerasan fisik, seperti pukulan di belakang kepala, pembunuhan, atau bahkan keracunan. Peneliti menemukan bukti kuat bahwa infeksi malaria yang parah, disertai dengan gangguan aliran darah ke tulang (kondisi yang dikenal sebagai osteonekrosis), adalah penyebab utama kematian sang firaun.
Analisis DNA juga menemukan bahwa setidaknya empat mumi, termasuk Raja Tut, membawa parasit malaria. Dalam kasus Tutankhamun, malaria yang ia derita diperparah dengan cedera kaki yang parah, kemungkinan akibat terjatuh. Cedera ini bisa memicu komplikasi serius, seperti septikemia (infeksi dalam darah) atau bahkan emboli lemak, yang dapat berujung pada kematian, terutama jika sistem imun tubuh tengah lemah akibat infeksi malaria berat.
Ilmuwan menemukan tongkat jalan dan perlengkapan medis dalam makam Tutankhamun, yang mendukung hipotesis bahwa sang raja memang memiliki masalah mobilitas dan kesehatannya tidak stabil. Bahkan beberapa peralatan yang ditemukan disebut sebagai “apotek akhirat,” menunjukkan bahwa tim pengubur tahu betul kondisi medis yang dihadapi oleh Raja Tut sebelum kematiannya.