Berdasarkan data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik BKKBN, Yulinda menemukan bahwa sekitar 0,6% warga kota Manado hidup dalam kohabitasi. Dari jumlah itu, 1,9% sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia di bawah 30 tahun, 83,7% hanya berpendidikan SMA atau lebih rendah, dan lebih dari 50% bekerja di sektor informal.
Dampak Negatif dari Kumpul Kebo
Meskipun kohabitasi sering dianggap sebagai alternatif yang lebih fleksibel dan bebas dari ikatan hukum, kenyataannya hubungan seperti ini juga memiliki sejumlah konsekuensi serius, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang terlibat di dalamnya.
Secara ekonomi, perempuan dalam hubungan kohabitasi tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas seperti halnya dalam pernikahan sah. Misalnya, ketika terjadi perpisahan, tidak ada mekanisme legal yang mengatur nafkah anak, hak waris, pembagian harta, atau hak asuh anak. Hal ini membuat perempuan dan anak berada dalam posisi rentan secara finansial dan hukum.
Dari sisi kesehatan mental, hidup bersama tanpa komitmen legal dapat menimbulkan tekanan emosional. Minimnya jaminan masa depan dan ketidakpastian status hubungan membuat banyak pasangan mengalami konflik berkepanjangan. Yulinda mencatat bahwa:
-
69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik seperti adu mulut atau ketegangan.
-
0,62% mengalami konflik serius seperti pisah ranjang atau bahkan berpisah tempat tinggal.
-
0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga berisiko mengalami berbagai kesulitan. Tak hanya dalam hal kesehatan dan perkembangan emosional, mereka juga kerap menghadapi stigma sosial, termasuk dari anggota keluarga sendiri.
"Anak yang lahir di luar nikah sering kali dianggap sebagai 'anak haram' dan mengalami diskriminasi dalam lingkungan sosialnya," jelas Yulinda. "Kondisi ini bisa membuat mereka mengalami krisis identitas dan kesulitan dalam memahami peran mereka di dalam keluarga maupun masyarakat."