Sejumlah pakar menilai bahwa pembatasan kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan korupsi adalah langkah mundur bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan berhasil membongkar berbagai skandal korupsi besar, seperti:
-
Kasus Pertamina Patra Niaga → Rp 968,5 triliun
-
Kasus PT Timah → Rp 300 triliun
-
Kasus BLBI → Rp 138 triliun
-
Kasus Duta Palma → Rp 78 triliun
-
Kasus PT ASABRI → Rp 22 triliun
-
Kasus PT Jiwasraya → Rp 17 triliun
Keberhasilan ini menimbulkan pertanyaan besar: jika kewenangan penyidikan Kejaksaan dicabut, apakah Polri mampu dan mau mengungkap kasus korupsi dengan skala sebesar ini?
Polri sebagai Pemegang Kendali Keamanan Nasional
RUU Polri juga mengusulkan agar Polri menjadi satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas keamanan nasional. Padahal, dalam berbagai undang-undang, tugas keamanan juga berada di bawah wewenang kementerian, lembaga negara, dan bahkan TNI dalam bidang tertentu.
Jika ini diterapkan, Polri akan memiliki kontrol penuh atas:
-
Penanganan konflik dalam negeri
-
Keamanan di sektor tertentu yang sebelumnya menjadi tanggung jawab kementerian terkait
-
Pengawasan dan penegakan hukum terhadap anggotanya sendiri
Ancaman Absolutisme dan Demokrasi
Banyak pihak khawatir bahwa RUU Polri dan RUU KUHAP ini akan menciptakan absolutisme kekuasaan, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Dalam sejarah, berbagai revolusi terjadi karena kesewenang-wenangan penguasa, seperti Revolusi Perancis (1789) yang melahirkan sistem demokrasi modern.