Sepanjang tiga hari, 22-24 Maret 2018, media daring membombardir publik dengan pemberitaan yang menyebut Gatot Nurmantyo mendaftar capres saat menemui Prabowo Subianto beberapa waktu yang lalu. Serangan "Daftar Capres" yang Mudah Dimentahkan Adalah politisi Gerindra, Muhammad Syafi'I, yang menceritakannya kepada media. "Pak Gatot, kan, datang ya, mendaftarlah ya untuk menjadi capres," kata Syafi'i di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 22 Maret 2018 (Sumber:Kompas.com) Gegara pemberitaan negatif selama tiga hari itu, opini-opini negatif pun berlontaran menyerang Gatot Nurmantyo. Malah, Tribunnews.com membuat judul "Terungkap Ambisi Jenderal Gatot jadi Capres, bahkan Berani 'Lamar' Partainya Prabowo". Pada paragraf pertama dan kedua ditulis sebagai berikut, "Namun politisi Partai Gerindra Muhammad Syafi'i membongkar ambisi politik Gatot. Bahkan mantan Panglima TNI Jenderal ini berani mendaftar sebagai capres melalui partainya." Membaca dua paragraf awal tersebut terkesan jika Gatot tengah berencana hendak melakukan tindakan tercela namun terbongkar lebih dulu. Kesan ini dibangun dengan menggunakan "membongkar" sebagai pilihan katanya. Bukan hanya itu, lewat frasa "berani mendaftar" yang dalam kalimat tersebut berkonotasikan negatif, Gatot diopinikan sebagai orang yang nekad atau setidaknya tidak tahu diri. Sebenarnya, serangan opini negatif yang menyasar Gatot tersebut tidak sulit untuk dipatahkan. Bukan karena Gatot sudah membantahnya atau karena dari sekian banyak politisi Gerindra, hanya Muhammad Syafe'I yang menceritakannya. Dan, bukan juga karena dalam Tribunnews.com, terbaca dengan jelas jika Syafe'i sebenarnya tidak tahu menahu isi pembicaraan antara Prabowo-Gatot. Tetapi, karena dalam kontek situasi politik kekinian sangatlah tidak masuk akal jika Gerindra membuka pendaftaran capres. Ada sejumlah alasan. Salah satu di antaranya adalah karena Gerindra secara resmi tidak mungkin membuka pendaftaran capres. Sebab, jika partai pimpinan Prabowo tersebut membuka pendaftaran, hal itu sama artinya dengan mengumumkan jika capres Gerindra bukanlah Prabowo. Karena tidak mungkin atau setidaknya belum waktunya untuk mengumumkan calon lain di luar Prabowo, maka Gerindra pun tidak mungkin menggelar ajang konvensi capres yang memungkinkan adanya pendaftar. Jadi, dengan hanya melihat dari satu sisi di mana Prabowo masih merupakan satu-satunya figur yang akan dicalonkan oleh Gerindra, maka pendaftaran capres pun sangat tidak mungkin. Dengan demikian, pertemuan Gatotd engan Prabowo beberapa waktu yang lalu tidak disertai dengan pendaftaran capres. Tetapi, yang menarik untuk dicermati bukan hanya framing pemberitaannya. melainkan juga pada semakin jelasnya ketidakberpihakan media terhadap Gatot. Sebab, dari sekian banyak media online yang memberitakannya, hanya CNNIndonesia.com yang memberitakan bantahannya. Muncul pertanyaan, apakah awak media tidak berupaya mengejar klarifikasi dari Gatot atau Prabowo? Atau mungkinkah kedua tokoh tersebut sulit dihubungi awak media? Ketidakberpihakan Media dari SBY, Prabowo, sampai Gatot Nurmantyo Yang menarik, pemberitaan yang menyangkut Gatot ini sedikit banyak mirip dengan pemberitaan terkait pengakuan La Nyalla Matalitti yang mengaku dipalak uang mahar oleh Prabowo sebesar 40 milyar rupiah. Ketika itu, dalam beberapa hari sejak La Nyalla menyampaikan ceritanya pada pertengahan Januari 2018, media memblikasikan serentetan pemberitaan terkait mahar yang dimintakan Prabowo. Selama beberapa hari, Prabowo Subianto menjadi bulan-bulanan media. Belum lagi dengan opini-opini yang menyudutkan mantan Danjen Kopassus itu. Tetapi, setelah La Nyalla mencabut pengakuannya, media menyenyap. Hanya segelintir media yang memberitakannya. Itu pun hanya sepintas. Bahkan, kelanjutan dari pemeriksaan KPUD Provinsi Jawa Timur pun tidak lagi dipublikasikan. Meskipun La Nyalla sudah menark pengakuannya, namun opini-opini yang menyerang Prabowo tetap saja berlontaran. Gatot pun pernah beberapa kali disudutkan oleh pemberitaan media. Salah satunya setelah Gatot tampil di program Rosi yang ditayangkan Kompas TV pada 4 Mei 2016. Pada program yang membincangkan artikel "Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President" yang ditulis Allan Nairn tersebut, Ketika itu, Gatot mengatakan upaya makar tidak akan mungkin dilakukan kelompok Islam untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Jokowi. Ditambahkan juga oleh jenteral kelahiran Tegal ini, kabar soal upaya makar dalam aksi unjuk rasa bela agama itu adalah berita bohong atau hoaks untuk menakuti rakyat Indonesia. Pernyataan Gatot inilah yang kemudian menuai kontroversi. Banyak pihak yang menganggap pernyataan mantan KSAD tersebut bertentangan dengan fakta. Bahkan, lebih dari itu, pernyataan Gatot dipandang bertentangan dengan sikap Polri yang serius menangani kasus dugaan rencana makar. Gegara anggapan adanya perbedaan pandangan antara Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI dengan Polri, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto berencana akan memanggil Gatot dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Pertanyaannya, apa yang salah dari pernyataan Gatot dalam "Rosi" sehingga menimbulkan kontroversi? Dan, adakah perbedaan pandangan antara TNI dengan Polri dalam menyikapi kasus dugaan perencanaan makar? Jika menyimak pernyataan Gatot dalam "Rosi" sebagaimana yang dapat disaksikan lewat Youtube, sebenarnya pernyataan Gatot soal makar sama sekali tidak bertentangan dengan tindakan Polri. Dalam video tersebut secara jelas memperlihatkan kalau Gatot mengatakan rencana makar tidak sama dengan aksi demonstrasi. Secara singkat dapat dilihat pada menit-menit akhir di mana Gatot mengatakan bahwa makar berbeda dengan aksi demo. Pernyataan Gatot tersebut jelas sesuai dengan tindakan Polri dalam menangani aksi demonstrasi yang dimotori oleh GNPF MUI dan kasus dugaan rencana makar yang dilakukan oleh Ahmad Dhani, Adityawarman, Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, Rachmawati Soekarnoputri, dan lainnya. Dalam tindakannya, Polri pun membedakan antara aksi unjuk rasa dengan rencana makar. Logikanya sangat sederhana, kalau Polri menganggap aksi demonstrasi, khususnya Aksi 212 sama dengan upaya makar, pastinya Polri pun sudah menangkap peserta Aksi Bela Islam. Faktanya, Polri hanya menangkap terduga pelaku makar, tetapi tidak melakukan penangkapan terhadap peserta Aksi 212. Artinya, penegasan Gatot yang mengatakan aksi makar berbeda dengan aksi demonstasi sejalan dengan tindakan Polri dalam mengungkap dugaan makar dan juga mengamankan jalannya aksi demonstrasi. Dan, hoax yang dimaksud oleh Gatot bukan kasus dugaan makar yang tengahditangani Polri, tetapi artikel Nairn yang menyebut Gatot dan sejumlah jenderal aktif terlibat dalam rencana kudeta terhadap Presiden Jokowi. Seperti yang dialami oleh Prabowo, meski sudah jelas jika pernyataan Gatot tidak bertentangan dengan sikap Polri, namun opini-opini negatif telah membentuk sentimen negatif bagi Gatot. Itulah realita yang tengah, dan mungkin akan terus berlanjut, apabila Gatot maju dalam Pilpres 2019. SBY bahkan sempat mengalami serangan opini yang jauh lebih dahsyat lagi. Ketika itu, hanya sehari jelang Pilgub DKI 2017. Penyataan Antasari Azhar yang memohon SBY untuk bersikap jujur dalam kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen digoreng seolah-olah SBY terlibat dalam kasus tersebut. Dan, hanya dalam beberapa menit setelah pernyataan Antasari itu dipublikasikan, SBY menjadi bulan-bulanan. Demikian juga dengan putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, yang ketika itu tengah berupaya meraih kemenangan dalam Pilgub DKI 2017. Dari pengalaman sebelumnya dan situasi dan kondisi keberpihakan media yang masih berlangsung, besar kemungkinan peristiwa yang dialami SBY juga akan terjadi pada capres atau cawapres yang berkompetisi dalam Pilpres 2019 nanti. Pertanyaannya, apakah para kandidat capres dan cawapres sudah memiliki strategi dalam menghadapi ketidakberpihakan media, setidaknya menjadikan ketidakberpihakan media sebagai wake up call