Pemotongan gaji untuk zakat sebenarnya bukan barang baru. Beberapa landasan yuridis sudah ada berkaitan dengan pemotongan zakat ini, diantaranya Undang-Undang No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, PP No 14/2014 tentang Pelaksanaan Zakat, dan Inpres No 3/2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat.
Rofiq: Potensi zakat besar, namun baru terhimpun sangat kecil
Salah seorang pakar hukum Islam yang juga merupakan direktur Pascasarjana UIN Walisongo, Ahmad Rofiq, menjelaskan bahwa dirinya mendukung upaya pemerintah tersebut. Menurutnya, aturan yang dibuat mengenai zakat ini nantinya hanya dibatasi dalam pengaturan pengelolaan, bukan berkaitan dengan kewajiban berzakat. Apalagi menurutnya potensi penerimaan zakat di Indonesia sangatlah besar, mencapai hingga Rp 270 triliun per tahun. Namun, yang baru dapat dioptimasi oleh Baznas hanya Rp 6 Miliar saja per tahun.
"Potensi besar, tapi Baznas baru dapat menghimpun Rp6 miliar per tahun, itu kan sangat kecil," ujar nya.
Rofiq menambahkan bahwa merujuk kepada Al Quran yang tertera pada surat At-Taubah ayat 60, Amil memang diberikan kewenangan untuk mengatur dan juga menarik zakat yang ada. Namun menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah yang belum dituntaskan dalam pengelolaan zakat ini. Salah satunya seperti penyaluran zakat yang disalurkan ke daerah lain, bukan di daerah pemungutan zakat. Hal ini yang biasanya menjadi alasan masyarakat untuk berpikir ulang saat mempercayakan zakatnya kepada lembaga amil zakat yang ada.
"Makanya sering orang bilang lebih baik zakat sendiri dari pada melalui Baznas, karena merasa lebih tepat sasaran," tandasnya.
Ahmad: Zakat masalah privat, bila berpotensi maladministrasi bila tetap dijalankan
Hal berbeda disampaikan oleh Ahmad Su'adi. Ahmad yang juga merupakan anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Bidang Agama, Sosial, dan Budaya menyatakan bahwa zakat merupakan hal privat dan bila rencana pemotongan gaji tetap dijalankan, akan berpotensi mengakibatkan adanya maladministrasi.
"Zakat itu masalah privat. Jadi negara tidak boleh mencampuri apalagi menarik zakat ke dalam pemerintahan," kata Ahmad.
Ahmad menambahkan bahwa bila rencana tersebut tetap dijalankan, maka perlu dijelaskan dengan baik mengenai perbedaan siapa yang berhak menerima dan siapa yang berhak memberi zakat. Penjelasan ini menurutnya perlu tercantum dalam undang-undang agar kemelut soal penarikan zakat tidak terjadi. Bahkan, sekitar beberapa tahun yang lalu, Ahmad menjelaskan kemelut mengenai hal ini pernah terjadi di lombok pada 2006-2007 yang lalu. Pada saat itu ASN yang bergolongan rendah angkat suara dan memprotes kebijakan yang telah disepakati antara Bupati dan juga DPRD. Para ASN menganggap bahwa mereka merasa dieksploitasi.