Pernahkah kamu merasa bingung, cinta itu sebenarnya yang kayak gimana, sih?
Apakah cinta berarti harus punya pasangan yang tinggi, six pack, berpenghasilan dua digit, dan bisa kasih kado kejutan setiap bulan—seperti yang sering viral di FYP TikTok?
Atau… cinta justru sesederhana ketika kamu dan dia bisa duduk bareng, ngobrol jujur soal hidup, sambil makan mie instan jam 2 pagi?
Di era media sosial seperti sekarang, definisi cinta seringkali jadi kabur. TikTok, Instagram, dan platform lainnya membentuk "standar" baru tentang bagaimana hubungan seharusnya terlihat. Sayangnya, standar ini sering kali penuh ilusi. Lalu, bagaimana kita bisa memaknai cinta secara lebih sehat dan dewasa? Mari kita bahas bersama, sekaligus melihat pandangan Erich Fromm, filsuf sekaligus psikoanalis, tentang seni mencintai.
1. Fenomena “Standar TikTok”: Cinta yang Tampak Sempurna
TikTok kini bukan sekadar tempat hiburan. Aplikasi ini telah menjadi “panduan” gaya hidup, termasuk soal percintaan.
Di FYP, kita sering melihat pasangan goals yang selalu tampil serasi, travelling ke destinasi mewah, makan di restoran mahal, dan saling memberi hadiah romantis. Konten-konten ini akhirnya membentuk apa yang bisa kita sebut sebagai “Standar TikTok” — standar visual, materi, dan romantisasi hubungan yang begitu mulus, terkonsep, bahkan kadang terasa terlalu sempurna.
Masalahnya, standar ini memicu comparison trap. Kita mulai membandingkan hubungan kita dengan pasangan lain yang terlihat ideal di layar. Padahal, apa yang kita lihat hanyalah highlight, bukan keseluruhan cerita.
Di balik senyum manis dan caption romantis, kita tidak tahu ada konflik, kompromi, atau bahkan perpisahan yang mungkin terjadi.
2. Cinta Menurut Erich Fromm: Sebuah “Seni”
Berbeda dengan gambaran cinta di TikTok, Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving menjelaskan bahwa cinta bukan sekadar perasaan yang datang tiba-tiba.
Cinta adalah seni.
Seperti seni lainnya, ia butuh pengetahuan, kesadaran, usaha, dan kedewasaan.