Filosofi Pendidikan yang Bergeser
Jika “Kampus Merdeka” berakar pada humanisme individualistik dan eksistensialisme, di mana kebebasan belajar menjadi prinsip utama, maka “Kampus Berdampak” dibangun di atas nilai-nilai humanisme sosial, etika komunal, dan bahkan ekosentrisme.
Dengan filosofi baru ini, pendidikan tinggi diharapkan mampu:
-
Mengatasi masalah sosial-lokal
-
Membentuk kesadaran kritis sivitas akademika
-
Menjaga keseimbangan antara pembangunan dan ekologi
Masalah Struktural: Tantangan di Balik Slogan
Meski gagasan “Kampus Berdampak” terdengar ideal, tantangan mendasar dunia pendidikan tinggi masih belum terselesaikan. Di antaranya:
-
Kesejahteraan dosen yang rendah dan sering diabaikan, memaksa mereka mencari pendapatan tambahan di luar kampus.
-
Otonomi keuangan kampus yang menciptakan kesenjangan antara PTN dan PTS.
-
Beban administratif dosen yang berlebihan, menggeser peran utama mereka dari pendidik menjadi birokrat.
-
Politik kampus yang sarat intrik, menjauhkan dunia akademik dari integritas dan fokus ilmiah.
“Kampus tak bisa jadi motor perubahan sosial jika dosennya sibuk mengejar laporan birokrasi dan jabatan struktural,” kata salah satu akademisi senior.
Solusi: Klusterisasi Perguruan Tinggi
Untuk mengatasi kekacauan struktural, salah satu solusi yang ditawarkan adalah klusterisasi kampus berdasarkan fungsi dan kapasitasnya. Kampus bisa dibagi menjadi: