Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan Indonesia untuk melarang ekspor bahan mentah dan melaksanakan hilirisasi di dalam negeri sering mendapat tekanan dari negara maju, terutama terkait dengan nikel. Namun, tidak ada pertentangan dari negara-negara lain terkait dengan larangan ekspor bauksit. Hal ini mungkin disebabkan oleh situasi geopolitik global, pandemi COVID-19, dan resesi ekonomi yang membuat negara-negara maju sibuk dengan masalah internal mereka.
Meskipun Indonesia dikecam oleh Uni Eropa yang membawa kasus larangan ekspor nikel ke WTO empat tahun lalu, tidak ada keluhan terkait dengan larangan ekspor bauksit. "Saat kita menghentikan ekspor nikel 4 tahun yang lalu, Uni Eropa membawa kita ke WTO. Namun, setelah itu, tidak ada keluhan terkait dengan larangan ekspor bauksit," ungkap Jokowi.
Pernyataan Bahlil dan Jokowi menunjukkan bahwa proses hilirisasi nikel di Indonesia berdampak positif terhadap perekonomian negeri ini. Dengan nilai ekspor yang terus meningkat, Indonesia berpotensi untuk semakin mengukuhkan posisinya sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia. Hal ini juga akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tak hanya itu, sektor hilirisasi nikel juga menunjukkan bahwa Indonesia mampu mendapatkan pengakuan dan kepercayaan dari berbagai negara dalam hal kemampuan melakukan proses pengolahan dan peningkatan nilai tambah dari komoditas nikel. Dengan terus mengoptimalkan kebijakan hilirisasi nikel dan melakukan inovasi dalam proses pengolahan, Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai produsen nikel terkemuka dunia.