Zainul menyatakan bahwa pihak ALMI menilai adanya unsur kesengajaan berupa pembiaran perkembangan isu dan fitnah yang disadari oleh pihak produksi film guna membiarkan terjadinya promosi alami dari film.
Dalam pengaduannya, Zainul mengadukan pihak-pihak pembuat film tersebut dengan sangkaan Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45A Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 31 UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.]]
ALMI menyoroti kekhawatiran terkait dampak sosial dan hukum yang ditimbulkan oleh film tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, pengaduan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batasan karya seni dalam mengangkat isu-isu kontroversial yang terkait dengan proses hukum yang sedang berjalan.
Sebuah film tidak hanya merupakan hiburan semata, tetapi juga dapat memengaruhi opini masyarakat dan mengganggu proses penegakan hukum apabila tidak ditangani dengan bijaksana. Oleh karena itu, penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan karya seni untuk mempertimbangkan dampak sosial dan hukum yang mungkin ditimbulkan oleh karyanya.
Kasus ini juga menunjukkan kompleksitas hubungan antara karya seni dan penegakan hukum, serta bagaimana karya seni tersebut dapat menjadi bagian dari kontroversi yang melibatkan masyarakat luas. Diskusi tentang batasan kebebasan berekspresi artistik dan tanggung jawab sosial dalam membuat karya seni menjadi semakin relevan dalam konteks kasus ini.