Framework mengaku sebelumnya telah menetapkan harga produknya dengan asumsi tarif impor dari Taiwan adalah 0%. Ketika tarif naik menjadi 10%, perusahaan bahkan mengorbankan margin keuntungan mereka untuk tetap menjual salah satu SKU laptop dengan harga yang terjangkau, meski merugi.
"Kami menjual SKU terendah dalam kondisi rugi untuk mempertahankan aksesibilitas produk," kata Framework dengan nada prihatin.
Kebijakan ini tentu tidak hanya berdampak pada satu perusahaan. Dalam laporan yang dikutip dari PC Gamer, disebutkan bahwa banyak produsen teknologi kini sedang menghitung ulang biaya operasional mereka dan menunda pengiriman ke AS sampai ada kejelasan lebih lanjut terkait kelanjutan tarif ini. Beberapa bahkan mulai mempertimbangkan relokasi manufaktur atau mencari alternatif pasar.
Penundaan penjualan dari Framework juga disinyalir berkaitan dengan potensi negosiasi antara Taiwan dan Amerika Serikat terkait tarif impor. Taiwan, yang belum menerapkan kebijakan tarif timbal balik terhadap AS, masih menimbang langkah selanjutnya dalam menyikapi lonjakan tarif hingga 32% yang dikenakan secara khusus oleh AS terhadap produk asal negaranya.
Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan ini menunjukkan bagaimana strategi dagang yang agresif dapat memberikan efek bumerang. Alih-alih melindungi industri dalam negeri, tarif semacam ini justru berpotensi menurunkan daya saing produk di pasar global dan membatasi pilihan konsumen dalam negeri.
Dengan pengenaan tarif tinggi terhadap produk-produk teknologi, khususnya yang berasal dari negara mitra dagang utama seperti Taiwan, konsumen Amerika kini terancam menghadapi kenaikan harga signifikan dan semakin terbatasnya pilihan produk. Terlebih, dalam industri seperti laptop dan perangkat pintar yang sangat bergantung pada rantai pasokan global, hambatan tarif semacam ini bisa menimbulkan efek domino yang tidak hanya berdampak pada harga, tetapi juga pada kecepatan inovasi teknologi.