Sementara itu, Cornell University juga menerapkan aturan skorsing serupa terhadap mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina. Presiden universitas, Martha Pollack, menyatakan bahwa para aktivis telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan pilihan mereka namun tetap menolak untuk membongkar tenda, sehingga kampus akhirnya memberlakukan sanksi skorsing sementara sebagai tindakan disipliner.
Kontroversi ini menjadi sorotan utama karena menimbulkan pertanyaan tentang batasan kebebasan berekspresi di lingkungan kampus, terutama dalam konteks perjuangan politik atau kemanusiaan yang dianggap sensitif. Di tengah demontrasi menentang agresi Israel di Palestina yang meluas di Amerika Serikat, unjuk rasa ini juga diikuti oleh ratusan mahasiswa hingga dosen dari berbagai latar belakang.
Di satu sisi, demonstrasi ini menuntut divestasi, transparansi keuangan universitas, dan amnesti bagi mahasiswa dan fakultas yang terlibat dalam protes pro-Palestina. Namun, aksi ini juga menimbulkan perlawanan dari pihak-pihak yang berseberangan, terutama dari komunitas Yahudi yang merasa terganggu dengan keberadaan perkemahan pro-Palestina di lingkungan kampus.
Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam menangani konflik politik di lingkungan akademis, di mana nilai-nilai kebebasan berekspresi dan hak untuk menyuarakan pendapat bertabrakan dengan kepentingan institusi dan komunitas lainnya. Diskusi mengenai batasan kebebasan berekspresi di kampus Ivy League AS ini menjadi relevan dalam menghadapi tantangan kompleks dalam konteks politik dan kemanusiaan di dunia yang semakin terglobalisasi.