Pada intinya, lebih dari mayoritas orang AS setuju bahwa tidak cukup banyak wanita di jabatan politik tinggi di AS, tetapi masalah yang mendasarinya sangat luas.
Pertama, masalahnya mungkin terletak pada persepsi orang AS tentang sesama orang AS. Bahkan jika seorang kandidat wanita sesuai dengan pandangan kebijakan mereka, orang mungkin ragu untuk memberikan suara untuk wanita tersebut dalam pemilihan pendahuluan karena takut bahwa AS secara umum tidak akan pernah memilih seorang presiden wanita, menurut penelitian.
Meskipun perempuan mencakup sekitar setengah dari populasi AS, mereka hanya menempati 28 persen kursi di Kongres.
Pada 1 Januari 2024, populasi AS diperkirakan mencapai 340.092.699 jiwa. Jumlah ini meningkat 0,75% (2.541.759 jiwa) dibandingkan dengan populasi tahun sebelumnya yang mencapai 337.550.940 jiwa. Pada tahun 2023, peningkatan alamiah bersifat positif, karena jumlah kelahiran melebihi jumlah kematian sebanyak 1.471.722 jiwa. Akibat migrasi eksternal, populasi meningkat sebanyak 1.070.036 jiwa.
Sementara itu, angka populasi Amerika Serikat (AS) pada tahun 2023 terdiri dari 167.894.736 laki-laki pada tanggal 31 Desember 2023 dan 172.197.963 perempuan pada tanggal 31 Desember 2023.
Belum adanya presiden perempuan di AS menjadi ironi mengingat banyak negara sudah memiliki presiden perempuan. Indonesia pernah dipimpin Megawati Sukarnoputri, Inggris pernah dipimpin Margaret Thatcher, India memiliki Indira Gandhi, China pernah dipimpin Soong Ching-ling, Pakistan pernah dipimpin Benazir Bhutto, Filipina dipimpin Gloria Macapagal Arroyo, dan Jerman berjaya di bawah Angela Merkel. Menurut banyak orang, kehadiran wanita di puncak jabatan politik memiliki peran yang signifikan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan dan masyarakat pada umumnya.
Dengan adanya tren perubahan pola pikir masyarakat mengenai peran perempuan dalam politik, merupakan langkah positif untuk menciptakan kesetaraan gender dalam kepemimpinan. Namun, proses ini tidak dapat lepas dari tantangan dan hambatan, seperti persepsi masyarakat yang belum siap menerima perempuan sebagai pemimpin utama, adanya media yang cenderung menggambarkan perempuan dalam politik dengan standar yang lebih ketat, serta minimnya dukungan finansial dan struktural dalam pencalonan perempuan sebagai presiden.