Isu ini mencuat pertama kali setelah Yos Suprapto, seniman kontemporer yang berbasis di Yogyakarta, menyampaikan keluhannya kepada publik terkait penghentian paksa pameran tunggalnya di Galeri Nasional. Seniman yang dikenal dengan karya-karyanya yang penuh kritik sosial ini menyatakan bahwa kurator tidak memahami konsep serta pesan yang ingin disampaikan melalui karyanya. Di sisi lain, kurator Suwarno Wisetrotomo menegaskan bahwa perbedaan pendapat tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara yang baik sehingga pameran tersebut harus dibredel.
Tentu saja, kasus ini memantik perbincangan hangat di kalangan pecinta seni rupa maupun komunitas seniman. Banyak yang menyayangkan pembredelan pameran Yos Suprapto ini, menganggap bahwa seni rupa seharusnya menjadi ruang untuk berdialog dan berekspresi tanpa batasan. Namun, di sisi lain, ada pula yang mendukung langkah Galeri Nasional Indonesia dengan alasan bahwa setiap pameran seni rupa harus tetap memperhatikan nilai-nilai etika serta norma yang berlaku dalam masyarakat.
Meskipun mendapat respons yang beragam, isu ini membuka peluang untuk meninjau kembali sistem perencanaan dan penyelenggaraan pameran seni rupa di Indonesia. Diperlukan adanya kerjasama yang lebih baik antara kurator dan seniman dalam menentukan konsep serta pesan yang ingin disampaikan melalui pameran. Sehingga, akan tercipta pameran seni rupa yang memberikan manfaat positif bagi publik, serta memberikan ruang bagi seniman untuk berkarya dengan bebas.