Dua elemen kunci yang mendefinisikan Filosofi Haiku dan hubungannya dengan alam adalah kigo dan kireji:
- Kigo (Kata Musim): Setiap Haiku hampir selalu mengandung kigo, sebuah kata atau frasa yang secara implisit merujuk pada musim tertentu. Misalnya, "katak" untuk musim semi, "semerbak bunga plum" untuk awal musim semi, "cicada" untuk musim panas, "bulan" untuk musim gugur, atau "salju" untuk musim dingin. Kigo tidak hanya mengidentifikasi musim tetapi juga membangkitkan citra, perasaan, dan asosiasi yang terkait dengan musim tersebut. Ini adalah cara untuk menempatkan puisi dalam konteks alam semesta yang terus berubah.
- Kireji (Kata Potong): Ini adalah "kata potong" yang berfungsi sebagai jeda atau pemisah dalam puisi, seringkali di akhir baris pertama atau kedua. Kireji menciptakan dua bagian yang kontras namun saling melengkapi dalam Haiku, memungkinkan dua gambar atau ide disandingkan sehingga menciptakan momen pencerahan atau pemahaman mendalam. Ini adalah tempat di mana refleksi singkat terjadi, mendorong pembaca untuk menemukan koneksi dan makna yang tidak terucapkan.
Melalui kigo dan kireji, Haiku berhasil menangkap momen alam yang spesifik dan fana—seperti tetesan embun di pagi hari, suara jangkrik di malam yang hangat, atau bayangan burung hantu—dan mengubahnya menjadi sebuah pengamatan yang memiliki resonansi universal.
Refleksi Singkat dan Estetika Zen
Haiku seringkali dikaitkan dengan prinsip-prinsip Buddhisme Zen, khususnya konsep satori (pencerahan) dan wabi-sabi (keindahan dalam ketidaksempurnaan dan kesederhanaan).