Dengan adanya pembayaran sebesar Rp 864,5 juta, dapat dibayangkan betapa besar sumber daya yang dikeluarkan untuk menjalankan operasi ini. Adhiya tampaknya berperan kunci dalam proses ini, karena ia tidak hanya merekrut buzzer, tetapi juga mengawasi strategi penyebaran informasi yang berpotensi merusak reputasi institusi hukum. Upaya ini diprediksi merupakan bagian dari strategi untuk mendiskreditkan Kejaksaan Agung dalam penanganan perkara-perkara yang dapat merugikan kepentingan pihak tertentu.
Para buzzer yang direkrut Adhiya tidak hanya berasal dari latar belakang yang beragam tetapi juga memiliki pengaruh besar di media sosial. Ini membuat penyebaran konten negatif menjadi lebih efektif dan cepat, menjangkau audiens yang jauh lebih luas dalam waktu singkat. Dari informasi yang didapat, konten yang disebarkan berkisar pada penyerangan karakter terhadap pejabat-pejabat tertentu di Kejaksaan Agung, dan sebagian besar diwarnai dengan tuduhan yang tidak berdasar.
Penggunaan buzzer untuk menyebarkan informasi negatif menjadi sorotan publik, terutama di era di mana transparansi dan kejujuran informasi sangat dibutuhkan. Dengan metode ini, informasi dan opini bisa dengan mudah diputarbalikkan, sehingga mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap isu yang ada. Ini merupakan bentuk manipulasi opini publik yang perlu diwaspadai, karena dapat mengarah pada kesalahpahaman yang lebih besar di tingkat masyarakat.