Pernyataan Trump ini juga mendapat dukungan dari Menteri Perdagangan AS, Horward Lutnick, yang secara singkat menuliskan "We're on it" di akun media sosial X (sebelumnya Twitter), menegaskan bahwa pemerintahan Trump sedang mengerjakan rincian pelaksanaan kebijakan tersebut.
Namun hingga kini, belum ada rincian teknis terkait implementasi tarif ini. Misalnya, masih belum jelas apakah film yang sebagian proses produksinya dilakukan di luar negeri namun melibatkan rumah produksi AS tetap akan dikenakan tarif. Kasus seperti Mission Impossible: The Final Reckoning menjadi pertanyaan menarik, mengingat sebagian besar film ini diambil di Inggris.
Langkah Trump ini tentu saja menuai kontroversi. Di satu sisi, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini justru akan meningkatkan biaya produksi dan distribusi film asing, yang pada akhirnya bisa mengurangi keragaman konten di pasar Amerika dan merugikan penonton. Di sisi lain, para pendukung kebijakan ini menyambutnya sebagai langkah berani untuk menghidupkan kembali industri perfilman dalam negeri, mendorong lebih banyak produksi lokal, dan membuka lebih banyak lapangan kerja di sektor kreatif.
Bagi perusahaan seperti Netflix dan Disney yang memiliki cakupan produksi global, kebijakan ini menjadi tantangan besar. Keduanya selama ini dikenal rutin melakukan syuting lintas negara demi memaksimalkan nilai produksi, biaya, dan konteks cerita. Jika tarif baru ini benar-benar diterapkan secara ketat, perusahaan-perusahaan ini mungkin akan terpaksa mengubah strategi produksi mereka secara menyeluruh.
Selain berdampak pada perusahaan besar, kebijakan ini juga bisa berdampak pada kerja sama internasional dalam dunia perfilman. Banyak film Hollywood melibatkan kru dan lokasi dari berbagai negara, sehingga pengenaan tarif ini bisa menimbulkan efek domino yang memengaruhi jaringan produksi global, distribusi konten, hingga kerja sama budaya antarnegara.